Dunia sudah berubah di mata Artha. Dahulu
semuanya berwarna-warni seperti pelangi, penuh senyuman dan pujian bangga dari
orang-orang di sekelilingnya. Namun, sekarang senyuman itu berganti dengan alis
merengut dan pujian berganti dengan cacian. Orang tuanya memandang dengan sinis
dan bahkan kakaknya mengatakan semua usahanya kurang. Hanya karena prestasinya
di SMA ini menurun, hanya karena ia bukan juara umum di SMA ini.
Lama-lama beban yang disampirkan di
pundaknya terasa berat untuk ia pikul. Rasa sakit itu semakin membesar dari
hari ke hari dan bahkan membuatnya malas untuk pulang ke rumah. Bahkan
menginjak keset di depan pintu depan rumah terasa menjijikkan dan berlendir.
Untunglah ia mempunyai biola-nya, yang alunan merdu-nya dapat menyejukkan
hatinya, membuatnya melupakan caci maki itu.
Artha mengenal biola semenjak kecil.
Seorang paman yang ramah dengan senyum menawan memberikannya sebagai hadiah
ketika ia menjadi anak baik untuknya. Ia masih ingat bagaimana paman itu
membelainya dan mengecupnya lembut sebelum paman itu memberikan biola itu
kepadanya. Dan, setiap paman itu selesai mengelus seluruh tubuhnya, paman itu
akan mengajarkannya cara bermain biola. Semenjak itulah biola itu menjadi
sahabatnya.