Burst
Dalam kegelapan Gaby meringkuk, menempelkan
lututnya ke dadanya dan memencet-mencet tombol di telepon genggamnya. Ia
berusaha mencari sinyal, tapi hasilnya nihil hingga akhirnya ia membanting
telepon genggam itu dengan rasa frustasi yang memuncak. Gaby menyisir rambut
panjangnya dengan tangan lalu menempelkan keningnya di lutut-nya. Ketika ia
memejamkan mata, masih terbayang mayat Loly dan Resta yang terbaring penuh
darah. Ia menggigit bibirnya dan bergidik jijik.
Pikirannya menerawang ketika ia menendang
mayat Resta yang dianggapnya sudah membohongi dan menipunya. Namun, ia juga tak
bisa menampikkan fakta bahwa Artha adalah minion-nya yang terbaik, yang selalu
menuruti kemauannya tanpa mengeluh meskipun ia kesal setengah mati. Lalu ada
Loly, yang manis dan bodoh, yang ia rekrut hanya agar Loly tidak lebih popular
dari dirinya.
Mengingat mereka berdua sekarang sudah tak
bernyawa, suatu perasaan aneh terbersit di dirinya. Terasa dingin dan sedikit
menyakitkan. Gaby memejamkan matanya dan menggidikkan kepalanya. Mengapa ia
menjadi melankolis seperti ini? Bukankah minion-minion bodoh seperti mereka
bisa tergantikan oleh siapa saja? Sudah banyak gadis-gadis yang mengantri untuk
posisi mereka!
Cahaya percaya diri di mata Gaby kembali
bersinar. Dari dulu ia tahu dirinya kuat dan ia mampu membuat semua orang
tunduk padanya. Tidak ada pengecualian. Mortis juga harus demikian. Ia akan
membuat bocah iseng yang kejam itu menyesal telah mengajaknya ke permainan ini.
Dengan langkah yakin, Gaby kemudian
berlari. Jika ia akan melawan Mortis, ia harus mencari senjata atau apapun yang
bisa dijadikan senjata. Ia akan membunuh Mortis sebelum bajingan itu
membunuhnya. Dalam pikiran itu, Gaby berlari dengan senyuman lebar.
***
Setelah Gaby berlari meninggalkannya, Bobby
kehilangan jejaknya. Nafasnya sedikit tersengal dan keringat mengalir di
pelipis hingga lehernya. Ia menoleh ke kanan dan ke kiri, mendapat dirinya
berada di tengah lorong di depan ruang kesenian. Sepertinya kakinya telah
membawanya kembali ke tempat ini tanpa disengaja. Ia-pun membuka pintu ruang
kesenian. Sisa-sisa percintaannya dengan Gaby masih teronggok di bawah kanvas
berlukiskan pemandangan yang membosankan.
Dengan santai Bobby terduduk di sebuah sofa
kecil di sudut ruangan, sofa di mana biasanya Pak Hendi memberi arahan. Dan,
wajah Bobby memerah, ketika mereka…
Ah, sudahlah. Bukan waktunya ia memikirkan
hal itu. Lebih penting ia pergi mencari Gaby sekarang.
Akan tetapi, ketika Bobby mengarahkan
langkahnya, pintu keluar tertutup dengan sendirinya. Ia bergerak cepat dan
mencoba membuka pintu yang kini terkunci itu. “Apa-apaan ini?!?”
***
“SIAL!” Limper melemparkan tubuhnya ke
kursi dan memaki-maki dengan perkataan yang jauh lebih kasar. Ia memandang
kesal ke arah layar komputer di depannya. Alisnya berkerut dan ia mendengus.
Selama ini Limper selalu bangga akan
kemampuannya “bermanuver” dengan komputer. Bisa dibilang dari kecil hanya
hal-hal yang berkaitan dengan komputerlah yang ada di otaknya. Komputer pertama
yang didapatnya pada umur 10 tahun hanyalah PC dengan spesifikasi standard,
namun otak kecilnya yang suka petualangan melihat PC itu sama seperti melihat
hutan yang penuh dengan tantangan dan misteri. Ia bahkan tidak memperdulikan
kedua orang tua-nya yang menggedor kamarnya untuk menyuruhnya makan dan pergi
sekolah. Sehingga, Limper menghabiskan seminggu hanya berada di depan layar
komputer berbentuk kotak itu hingga ia mengetahui segala sesuatu tentangnya.
Komputer ini adalah dunia-nya sekarang dan sekolah terlalu membosankan apabila
dibandingkan dengannya.
Ketika ia lulus SD, ia sudah berhasil
membuat komputernya yang standard itu menjadi super canggih –meskipun itu hanya
super canggih versinya. Namun ketika SMP-lah semuanya berubah. Dimulai dari
pertemuan tidak sengajanya di dunia maya dengan seseorang yang menamakan
dirinya Rat.
Yang Rat lakukan hanyalah memperkenalkannya
dengan satu istilah terkenal, yaitu HACKER. Setelah itu isi kepala Limper
hanyalah kata itu, ia bertekad menjadi hacker yang disegani bahkan oleh hacker
paling terkenal di dunia sekalipun. Oleh karena itu ia membuat satu tujuan,
NSA.
Semua orang di dunia tahu bahwa NSA adalah
agen intelijen Amerika Serikat yang kerjanya hanyalah memonitor
informasi-informasi yang berseliweran di dunia digital. Singkatnya, tidak ada
personal information yang aman. NSA bahkan bisa tahu isi email setiap orang
yang ada di dunia dan, ya, termasuk email-email perselingkuhan.
Di kepalanya, yang dianggapnya berisi salah
satu otak paling jenius di dunia ini, jika ia berhasil membobol NSA, maka
namanya akan menjadi legenda. Ia akan dibicarakan di majalah-majalah hacker
kelas dunia. Dan, yang terpenting, ia akan mendapatkan uang banyak dari menjual
informasi-informasi itu kepada pihak-pihak yang, well, membutuhkan.
Namun Limper sadar, sebelum NSA, ia
membutuhkan percobaan-percobaan kecil yang penting. Pertama ia mencoba mencuri
informasi -mencuri soal ujian lebih tepatnya- dari jaringan komputer di
SMP-nya. Ia berhasil dengan gemilang dan membuatnya jadi pahlawan ketika
kelulusan SMP-nya. Padahal ia hanya melakukannya dengan komputer bututnya yang
berbentuk kotak dan berwarna kecoklatan itu.
Setelah itu namanya dikenal dan bahkan ia
dimintai tolong memanipulasi suara ketika pemilihan Major di kota tempatnya
tinggal. Tim sukses salah satu kandidat membayarnya dengan jumlah uang yang
lebih dari cukup untuk membeli seperangkat komputer baru, laptop tercanggih
yang bisa ia dapatkan dan tentu saja komputer tablet yang sedang ngetren.
Impiannya untuk membobol NSA sebentar lagi akan menjadi kenyataan.
Tetapi, ketika melihat layar hitam di
seberangnya, Limper berpikir apakah ia mampu membobol NSA jika membobol system
keamanan sekolah saja ia tidak bisa. Terlalu banyak kode, terlalu banyak
jebakan dan maze yang disiapkan oleh system keamanan sekolahnya, seolah-olah
ini bukan sistem keamanan tingkat sekolah. Butuh seorang jenius yang jauh melebihinya
untuk membuat sebuah sistem keamanan setingkat dewa ini.
Apabila system ini diotak-atik oleh Mortis
untuk event malam ini, apakah memang dia sejenius itu? Orang itu sakit, gila,
pembunuh dan seorang jenius?!? Cih! Yang benar saja!! Limper menolak untuk
percaya.
Ia mendelik ke layar komputer di depannya. Font-font
putih dan hijau kerlap-kerlip menatapnya dengan tatapan mengejek. Limper
mengumpat lagi. “Jangan remehkan aku! Sialan!” Sekali lagi jari-jarinya
bergerak lincah di atas keyboard. Dalam beberapa menit ia kembali berperang
dengan sistem keamanan sekolah. Ia tidak percaya semua kerumitan formula ini
hanya untuk mengunci pintu dan jendela sekolah. Limper meyakini ada yang tidak
beres di sini.
Tiba-tiba ia teringat sesuatu. Dibukanya
laptopnya dan langsung mencari file cetak biru sekolah. Dengan teliti ia
menyusuri pintu-pintu dan jendela-jendela yang dikunci dengan system otomatis.
Ia tersenyum, mungkin pikirannya sendirilah yang mengarahkan semua kerumitan
ini sementara semuanya semestinya sangat sederhana. Mungkin ini ada kaitannya
dengan kematian Heru yang ditembak sniper hanya karena berjalan mendekat ke
jendela.
Kalau dipikirkan lagi, kematian Heru memang
agak janggal. Seolah-olah hanya sebagai ancaman atau sejenis gertakan agar
tidak ada yang berani mendekat ke jendela atau pintu. Tapi, untuk apa? Bukankah
Mortis sudah mengunci semua akses keluar masuk gedung sekolah?
Baiklah. Jika ia memikirkan semua itu, ia
akan kehabisan waktu untuk menjebol system keamanan ini. Belum lagi jikalaupun
sukses membukanya bagaimana mereka akan meloloskan diri dari incaran sniper
itu. Ia menarik nafas, menenangkan dirinya. Hampir saja ia melupakan keberadaan
Ezky, setelah ini temannya itu pasti akan memikirkan cara agar mereka keluar
dari tempat ini.
Ia ingat pertama kali melihat Ezky memasuki
kelas dengan Lena kemudian guru wali kelas mereka memperkenalkannya sebagai
murid baru. Aura yang dipancarkan Ezky langsung terasa dingin dan ia selalu
terlihat seperti sedang kesal dengan sesuatu. Pertamanya Limper malas berurusan
dengannya, lalu entah dari mana ada rumor mengenai Ezky yang bertarung seorang
diri dengan preman-preman di bawah jembatan penyeberangan dekat sekolah mereka
dan memberi pukulan telak kepada si banci Hendy. Limper kemudian menjadi
sedikit tertarik. Ketika ia berpikir demikian, ia melihat Ezky sedang tertidur
di gudang sekolah. Dengan cuek, Limper menendangnya dan menawarinya rokok tipis
kesukaannya. Ketika Limper mengutak-ngatik laptop-nya, Ezky mengerti dengan apa
yang sedang ia lakukan. Ternyata ia sedikit banyak tahu trik-trik komputer. Sejak
saat itulah sepertinya ia merasa ada orang yang bisa diajak bersenang-senang
dengannya.
Dengan pikiran yang kembali sejernih kristal,
jemari Limper bergerak cepat di atas keyboard. Maze dan trap yang berada di
depannya dapat dilewatinya satu persatu. Ternyata memang benar dia yang terlalu
rumit memikirkan pemecahannya, padahal semua ini bisa dilewati dengan pemecahan
yang jauh lebih sederhana.
Senyum Limper makin mengembang ketika ia
melewati satu persatu pintu keamanan di depannya dengan mudah. Matanya berbinar
membayangkan kemenangan yang akan segera ia gapai dengan tangannya. Pikirannya
membayangkan ia dan Ezky serta teman-teman lainnya yang selamat berlari
meninggalkan sekolah dengan senyum lega. Dalam hatinya, Limper mulai bersorak.
Hanya saja semua itu berubah ketika ia
melihat apa yang ditampilkan layar di depannya. Begitu ia merasa telah membuka
pintu yang terakhir, layar berubah gelap. Sedetik, 2 detik, Limper menunggu
terjadinya sesuatu. Namun sampai semenit kemudian layarnya masih gelap. Ia-pun
mulai memencet-mencet tombol yang ada di dashboard. Tidak ada hasil.
Alisnya berkerut. Pikirannya berontak dan
bertanya-tanya apa yang salah. Semuanya begitu lancar dan ia tahu apa yang
dilakukannya sudah benar. Ia mendekatkan dirinya ke arah PC, mengecek apakah
powernya sudah menyala. Ketika itulah tiba-tiba muncul kerlap-kerlip kecil
berwarna merah di tengah layar yang hitam itu.
Titik merah itu kemudian meluas bergerak ke
kanan dan ke kiri, dalam sekejap layar hitam itu berubah merah. Limper bergerak
cepat untuk menghentikan titik merah yang ia curigai adalah virus itu. Jika
virus itu menyebar dan mengakibatkan sistem down, maka tamatlah semua usahanya.
Sayangnya semua usaha yang Limper lakukan itu sia-sia, karena warna merah itu
tetap menghiasi layar.
Perlahan, dan membuat Limper tambah kesal
hingga terus meneriakkan sumpah serapah, warna merah terang itu berubah warna
menjadi merah darah dan perlahan-lahan membentuk suatu pola. Limper mendekatkan
wajahnya ke layar, ia melihat dengan bingung ketika pola itu membentuk 3 huruf,
“M… O… D…”
Seketika cahaya bersinar terang dari layar
laptop. Dan, sebelum Limper sempat mencegahnya, cahaya itu mengelilinginya
dengan angin panas yang membakar wajahnya. Suara ledakan yang keras menyapu isi
ruangan, membakar dengan api membara dan asap yang menyesakkan. Selanjutnya,
nafasnya telah terhenti.
***
Suara ledakan yang samar-samar terdengar
dari ujung lorong, memicu alarm untuk berbunyi lalu air dari sprinkle yang ada
di langit-langit juga ikut memancar. Ezky, Lena dan Sinta memilih untuk
berlindung dari pancuran air deras itu di sebuah sudut tersembunyi. Dari tempat
mereka berada, mereka bisa melihat asap samar-samar dari ruang komputer.
Kekhawatiran memicu jantung mereka untuk berdegap keras, meneriakkan harapan di
dalam hati bahwa tidak terjadi sesuatu terhadap Limper.
Ternyata suara alarm dan sprinkle itu
berlangsung lebih singkat dari yang mereka duga. Hanya beberapa menit, kemudian
berhenti. Ezky langsung mencurigai bahwa alarm dan sprinkle itu segera
dimatikan oleh Mortis yang tidak ingin didatangi oleh pemadam kebakaran.
Setelah memastikan alarm dan sprinkle itu
telah berhenti, tanpa pikir panjang Ezky berlari melalui lorong yang tergenang
air. Sesaat ia melupakan tentang Lena dan Sinta di belakangnya, pikirannya
terlalu penuh dengan kecemasan. Berusaha membuang pikiran-pikiran buruk kalau
ledakan ini berkaitan dengan Limper. Pertanyaan dalam kepala Ezky terjawab
bahkan sebelum ia sampai di ruang komputer yang mengepulkan asap itu.
Di beberapa ruangan sebelum ruang komputer,
tiba-tiba layar terkembang dan projector turun dari langit-langit tengah
ruangan. Lena, yang mengikuti langkah Ezky dari belakang, memasuki ruangan yang
bertuliskan “Laboratorium Bahasa”. Mata Lena lurus ke depan, tidak mempedulikan
panggilan Ezky. Dan, ketika projector itu menyala, memunculkan nama “Limper” di
layar dengan tulisan semerah darah, kaki Lena terasa lemas.
“Lena…” Ezky menghampirinya, namun matanya
tetap menuju ke layar yang sekarang sedang memutarkan video tentang Limper.
Video itu ternyata cukup singkat, hanya
memperlihatkan keseharian Limper yang sudah diketahui oleh Ezky. Nama asli
Limper, yaitu Fabian, disebutkan berulang kali oleh seorang bapak tua, yang
mana membuat Limper memasang tampang muak. Lalu, Limper yang suka diam-diam
menghisap ganja di gudang belakang sekolah. Limper yang bertingkah seenaknya di
kelas dan bahkan melemparkan sedotan bekas gigitannya ke Pak Hendy. Serta,
Limper yang selalu bertingkah jenius di depan laptop-nya. Video itu selesai
ketika Limper mengacungkan jari tengah ke orang yang diam-diam merekamnya itu
dan menyengir lebar.
Lena menatap Ezky, matanya sudah basah dan
bulir-bulir air mata sudah hampir jatuh ke pipi-nya. Tapi, ia menahannya dengan
sekuat tenaga karena Sinta justru lebih terpuruk darinya.
Air mata Sinta bagaikan tak terbendung, ia
duduk menyandar di depan pintu ruangan dan menutupi wajahnya. “Sudah tidak ada
lagi… sudah tidak ada lagi yang bisa diharapkan… Kita tidak akan keluar dari
sini!!” raungnya frustasi. Lena cepat-cepat menghampirinya dan memberikan
pelukan yang diharapkannya bisa menenangkannya.
“Ezky… tolong jaga Sinta sebentar. Aku akan
menutupi jasad Limper…” ujarnya lemah.
“Tunggu, Lena…” Ezky berusaha mencegahnya,
namun Lena hanya tersenyum tipis. Ezky mengerti maksud Lena yang ingin membantunya
agar ia tidak perlu melihat jasad Limper. Ia kemudian memberi anggukan kecil.
Dengan berjingkat-jingkat di lantai yang
tergenang air, serta menutup mulutnya karena asap yang masih sedikit mendesis,
Lena memasuki laboratorium komputer. Ia menyiapkan dirinya sebelum melangkah
lebih jauh. Ternyata hanya sebagian dari ruangan itu yang terbakar, memberikan
bekas hitam besar di tembok dan lantai sekelilingnya. Lena mengira di sanalah
Limper berada. Ia menarik kain yang menutupi komputer-komputer bekas di sudut
ruangan, kain itu basah dan ujung-ujungnya sedikit gosong, mungkin karena api
yang memercik.
Begitu sampai di sisi ruangan yang
terbakar, Lena menarik nafas ketika melihat sosok Limper. Isi perutnya
bergejolak, membuatnya mengatur nafas sekuat tenaga. Tubuh itu berwarna
kehitaman dengan bercak-bercak darah, di beberapa bagiannya masih mengeluarkan
asap. Tapi, yang paling tidak bisa ia lihat adalah bagian kepalanya yang hanya
tinggal separuh. Percikan darah menggenang di sekelilingnya beserta dengan kaca,
serpihan-serpihan komputer, serta serpihan tubuh dan kepala Limper yang tidak
berani ia lihat. Cepat-cepat Lena menutupi jasad mengenaskan itu dengan kain.
“Lena, kau tidak apa-apa?” tanya Ezky dari
luar ruangan.
“Iya, aku akan segera keluar,” jawab Lena
dengan suara bergetar.
“Tunggu… Bertahanlah sebentar di sana dan
cari apakah Limper meninggalkan petunjuk. Aku tahu itu mungkin terbakar tapi…”
“I understand,” jawab Lena cepat. Ia
kemudian melihat sekelilingnya dan perhatiannya langsung tertuju ke komputer
tablet yang ajaibnya selamat dari ledakan meski ada retakan-retakan kecil di
tepiannya. Lena segera berlari dengan hati-hati dan memperlihatkan itu kepada
Ezky. “Where’s Sinta?”
“Relax.
She’s still sitting there and crying,” jawab Ezky cepat.
Ia kemudian menyalakan komputer tablet itu
dan melihat 3 huruf yang tampaknya ditulis dengan terburu-buru oleh Limper.
Ezky dan Lena saling menatap, lalu Lena melirik ke arah Sinta. “It’s unfortunate…” bisik Ezky sambil
meletakkan komputer tablet itu di lantai, membiarkannya terendam air dan
kemudian menendangnya menjauh.
Lena kemudian menghampiri Sinta dan dengan
lembut menyeka air mata-nya. “Sinta, jangan menangis. Jangan menyerah. Kita
pasti masih bisa keluar dari sini!!” ucap Lena yakin.
“Tapi… tapi… Limper… Dia harapan kita
satu-satunya! Iya, kan Ezky?!?” serunya dengan suara serak. Wajahnya basah oleh
air mata.
“Tenanglah… Limper meninggalkan sesuatu
untuk kita. Petunjuk untuk keluar dari sini. Itu adalah harapan bukan?” ujar
Lena tenang, memberikan lirikan penuh arti kepada Ezky.
“Ya, itu adalah harapan…” ucap Ezky.
***
Mortis terkikik geli di lorong yang gelap.
Tampaknya program yang mereka tanam sudah membunuh pecandu gila itu. Sekarang,
ia ingin bermain-main dengan pria lembek yang selalu berlindung di balik
ketampanannya ini.
Lagi-lagi
Mortis terkikik ketika mendengar raungan dan teriakan minta tolong dari seorang
pria yang terkunci di balik pintu di hadapannya ini. Ia mengokang shotgun-nya
dan tersenyum. Kali ini ia akan langsung memburu mereka satu persatu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar