Kamis, 11 Desember 2014

School Game : Chapter 6

Burst

Dalam kegelapan Gaby meringkuk, menempelkan lututnya ke dadanya dan memencet-mencet tombol di telepon genggamnya. Ia berusaha mencari sinyal, tapi hasilnya nihil hingga akhirnya ia membanting telepon genggam itu dengan rasa frustasi yang memuncak. Gaby menyisir rambut panjangnya dengan tangan lalu menempelkan keningnya di lutut-nya. Ketika ia memejamkan mata, masih terbayang mayat Loly dan Resta yang terbaring penuh darah. Ia menggigit bibirnya dan bergidik jijik.
Pikirannya menerawang ketika ia menendang mayat Resta yang dianggapnya sudah membohongi dan menipunya. Namun, ia juga tak bisa menampikkan fakta bahwa Artha adalah minion-nya yang terbaik, yang selalu menuruti kemauannya tanpa mengeluh meskipun ia kesal setengah mati. Lalu ada Loly, yang manis dan bodoh, yang ia rekrut hanya agar Loly tidak lebih popular dari dirinya.
Mengingat mereka berdua sekarang sudah tak bernyawa, suatu perasaan aneh terbersit di dirinya. Terasa dingin dan sedikit menyakitkan. Gaby memejamkan matanya dan menggidikkan kepalanya. Mengapa ia menjadi melankolis seperti ini? Bukankah minion-minion bodoh seperti mereka bisa tergantikan oleh siapa saja? Sudah banyak gadis-gadis yang mengantri untuk posisi mereka!
Cahaya percaya diri di mata Gaby kembali bersinar. Dari dulu ia tahu dirinya kuat dan ia mampu membuat semua orang tunduk padanya. Tidak ada pengecualian. Mortis juga harus demikian. Ia akan membuat bocah iseng yang kejam itu menyesal telah mengajaknya ke permainan ini.
Dengan langkah yakin, Gaby kemudian berlari. Jika ia akan melawan Mortis, ia harus mencari senjata atau apapun yang bisa dijadikan senjata. Ia akan membunuh Mortis sebelum bajingan itu membunuhnya. Dalam pikiran itu, Gaby berlari dengan senyuman lebar.
***

Setelah Gaby berlari meninggalkannya, Bobby kehilangan jejaknya. Nafasnya sedikit tersengal dan keringat mengalir di pelipis hingga lehernya. Ia menoleh ke kanan dan ke kiri, mendapat dirinya berada di tengah lorong di depan ruang kesenian. Sepertinya kakinya telah membawanya kembali ke tempat ini tanpa disengaja. Ia-pun membuka pintu ruang kesenian. Sisa-sisa percintaannya dengan Gaby masih teronggok di bawah kanvas berlukiskan pemandangan yang membosankan.
Dengan santai Bobby terduduk di sebuah sofa kecil di sudut ruangan, sofa di mana biasanya Pak Hendi memberi arahan. Dan, wajah Bobby memerah, ketika mereka…
Ah, sudahlah. Bukan waktunya ia memikirkan hal itu. Lebih penting ia pergi mencari Gaby sekarang.
Akan tetapi, ketika Bobby mengarahkan langkahnya, pintu keluar tertutup dengan sendirinya. Ia bergerak cepat dan mencoba membuka pintu yang kini terkunci itu. “Apa-apaan ini?!?”
***

“SIAL!” Limper melemparkan tubuhnya ke kursi dan memaki-maki dengan perkataan yang jauh lebih kasar. Ia memandang kesal ke arah layar komputer di depannya. Alisnya berkerut dan ia mendengus.
Selama ini Limper selalu bangga akan kemampuannya “bermanuver” dengan komputer. Bisa dibilang dari kecil hanya hal-hal yang berkaitan dengan komputerlah yang ada di otaknya. Komputer pertama yang didapatnya pada umur 10 tahun hanyalah PC dengan spesifikasi standard, namun otak kecilnya yang suka petualangan melihat PC itu sama seperti melihat hutan yang penuh dengan tantangan dan misteri. Ia bahkan tidak memperdulikan kedua orang tua-nya yang menggedor kamarnya untuk menyuruhnya makan dan pergi sekolah. Sehingga, Limper menghabiskan seminggu hanya berada di depan layar komputer berbentuk kotak itu hingga ia mengetahui segala sesuatu tentangnya. Komputer ini adalah dunia-nya sekarang dan sekolah terlalu membosankan apabila dibandingkan dengannya.
Ketika ia lulus SD, ia sudah berhasil membuat komputernya yang standard itu menjadi super canggih –meskipun itu hanya super canggih versinya. Namun ketika SMP-lah semuanya berubah. Dimulai dari pertemuan tidak sengajanya di dunia maya dengan seseorang yang menamakan dirinya Rat.
Yang Rat lakukan hanyalah memperkenalkannya dengan satu istilah terkenal, yaitu HACKER. Setelah itu isi kepala Limper hanyalah kata itu, ia bertekad menjadi hacker yang disegani bahkan oleh hacker paling terkenal di dunia sekalipun. Oleh karena itu ia membuat satu tujuan, NSA.
Semua orang di dunia tahu bahwa NSA adalah agen intelijen Amerika Serikat yang kerjanya hanyalah memonitor informasi-informasi yang berseliweran di dunia digital. Singkatnya, tidak ada personal information yang aman. NSA bahkan bisa tahu isi email setiap orang yang ada di dunia dan, ya, termasuk email-email perselingkuhan.
Di kepalanya, yang dianggapnya berisi salah satu otak paling jenius di dunia ini, jika ia berhasil membobol NSA, maka namanya akan menjadi legenda. Ia akan dibicarakan di majalah-majalah hacker kelas dunia. Dan, yang terpenting, ia akan mendapatkan uang banyak dari menjual informasi-informasi itu kepada pihak-pihak yang, well, membutuhkan.
Namun Limper sadar, sebelum NSA, ia membutuhkan percobaan-percobaan kecil yang penting. Pertama ia mencoba mencuri informasi -mencuri soal ujian lebih tepatnya- dari jaringan komputer di SMP-nya. Ia berhasil dengan gemilang dan membuatnya jadi pahlawan ketika kelulusan SMP-nya. Padahal ia hanya melakukannya dengan komputer bututnya yang berbentuk kotak dan berwarna kecoklatan itu.
Setelah itu namanya dikenal dan bahkan ia dimintai tolong memanipulasi suara ketika pemilihan Major di kota tempatnya tinggal. Tim sukses salah satu kandidat membayarnya dengan jumlah uang yang lebih dari cukup untuk membeli seperangkat komputer baru, laptop tercanggih yang bisa ia dapatkan dan tentu saja komputer tablet yang sedang ngetren. Impiannya untuk membobol NSA sebentar lagi akan menjadi kenyataan.
Tetapi, ketika melihat layar hitam di seberangnya, Limper berpikir apakah ia mampu membobol NSA jika membobol system keamanan sekolah saja ia tidak bisa. Terlalu banyak kode, terlalu banyak jebakan dan maze yang disiapkan oleh system keamanan sekolahnya, seolah-olah ini bukan sistem keamanan tingkat sekolah. Butuh seorang jenius yang jauh melebihinya untuk membuat sebuah sistem keamanan setingkat dewa ini.
Apabila system ini diotak-atik oleh Mortis untuk event malam ini, apakah memang dia sejenius itu? Orang itu sakit, gila, pembunuh dan seorang jenius?!? Cih! Yang benar saja!! Limper menolak untuk percaya.
Ia mendelik ke layar komputer di depannya. Font-font putih dan hijau kerlap-kerlip menatapnya dengan tatapan mengejek. Limper mengumpat lagi. “Jangan remehkan aku! Sialan!” Sekali lagi jari-jarinya bergerak lincah di atas keyboard. Dalam beberapa menit ia kembali berperang dengan sistem keamanan sekolah. Ia tidak percaya semua kerumitan formula ini hanya untuk mengunci pintu dan jendela sekolah. Limper meyakini ada yang tidak beres di sini.
Tiba-tiba ia teringat sesuatu. Dibukanya laptopnya dan langsung mencari file cetak biru sekolah. Dengan teliti ia menyusuri pintu-pintu dan jendela-jendela yang dikunci dengan system otomatis. Ia tersenyum, mungkin pikirannya sendirilah yang mengarahkan semua kerumitan ini sementara semuanya semestinya sangat sederhana. Mungkin ini ada kaitannya dengan kematian Heru yang ditembak sniper hanya karena berjalan mendekat ke jendela.
Kalau dipikirkan lagi, kematian Heru memang agak janggal. Seolah-olah hanya sebagai ancaman atau sejenis gertakan agar tidak ada yang berani mendekat ke jendela atau pintu. Tapi, untuk apa? Bukankah Mortis sudah mengunci semua akses keluar masuk gedung sekolah?
Baiklah. Jika ia memikirkan semua itu, ia akan kehabisan waktu untuk menjebol system keamanan ini. Belum lagi jikalaupun sukses membukanya bagaimana mereka akan meloloskan diri dari incaran sniper itu. Ia menarik nafas, menenangkan dirinya. Hampir saja ia melupakan keberadaan Ezky, setelah ini temannya itu pasti akan memikirkan cara agar mereka keluar dari tempat ini.
Ia ingat pertama kali melihat Ezky memasuki kelas dengan Lena kemudian guru wali kelas mereka memperkenalkannya sebagai murid baru. Aura yang dipancarkan Ezky langsung terasa dingin dan ia selalu terlihat seperti sedang kesal dengan sesuatu. Pertamanya Limper malas berurusan dengannya, lalu entah dari mana ada rumor mengenai Ezky yang bertarung seorang diri dengan preman-preman di bawah jembatan penyeberangan dekat sekolah mereka dan memberi pukulan telak kepada si banci Hendy. Limper kemudian menjadi sedikit tertarik. Ketika ia berpikir demikian, ia melihat Ezky sedang tertidur di gudang sekolah. Dengan cuek, Limper menendangnya dan menawarinya rokok tipis kesukaannya. Ketika Limper mengutak-ngatik laptop-nya, Ezky mengerti dengan apa yang sedang ia lakukan. Ternyata ia sedikit banyak tahu trik-trik komputer. Sejak saat itulah sepertinya ia merasa ada orang yang bisa diajak bersenang-senang dengannya.
Dengan pikiran yang kembali sejernih kristal, jemari Limper bergerak cepat di atas keyboard. Maze dan trap yang berada di depannya dapat dilewatinya satu persatu. Ternyata memang benar dia yang terlalu rumit memikirkan pemecahannya, padahal semua ini bisa dilewati dengan pemecahan yang jauh lebih sederhana.
Senyum Limper makin mengembang ketika ia melewati satu persatu pintu keamanan di depannya dengan mudah. Matanya berbinar membayangkan kemenangan yang akan segera ia gapai dengan tangannya. Pikirannya membayangkan ia dan Ezky serta teman-teman lainnya yang selamat berlari meninggalkan sekolah dengan senyum lega. Dalam hatinya, Limper mulai bersorak.
Hanya saja semua itu berubah ketika ia melihat apa yang ditampilkan layar di depannya. Begitu ia merasa telah membuka pintu yang terakhir, layar berubah gelap. Sedetik, 2 detik, Limper menunggu terjadinya sesuatu. Namun sampai semenit kemudian layarnya masih gelap. Ia-pun mulai memencet-mencet tombol yang ada di dashboard. Tidak ada hasil.
Alisnya berkerut. Pikirannya berontak dan bertanya-tanya apa yang salah. Semuanya begitu lancar dan ia tahu apa yang dilakukannya sudah benar. Ia mendekatkan dirinya ke arah PC, mengecek apakah powernya sudah menyala. Ketika itulah tiba-tiba muncul kerlap-kerlip kecil berwarna merah di tengah layar yang hitam itu.
Titik merah itu kemudian meluas bergerak ke kanan dan ke kiri, dalam sekejap layar hitam itu berubah merah. Limper bergerak cepat untuk menghentikan titik merah yang ia curigai adalah virus itu. Jika virus itu menyebar dan mengakibatkan sistem down, maka tamatlah semua usahanya. Sayangnya semua usaha yang Limper lakukan itu sia-sia, karena warna merah itu tetap menghiasi layar.
Perlahan, dan membuat Limper tambah kesal hingga terus meneriakkan sumpah serapah, warna merah terang itu berubah warna menjadi merah darah dan perlahan-lahan membentuk suatu pola. Limper mendekatkan wajahnya ke layar, ia melihat dengan bingung ketika pola itu membentuk 3 huruf, “M… O… D…”
Seketika cahaya bersinar terang dari layar laptop. Dan, sebelum Limper sempat mencegahnya, cahaya itu mengelilinginya dengan angin panas yang membakar wajahnya. Suara ledakan yang keras menyapu isi ruangan, membakar dengan api membara dan asap yang menyesakkan. Selanjutnya, nafasnya telah terhenti.
***

Suara ledakan yang samar-samar terdengar dari ujung lorong, memicu alarm untuk berbunyi lalu air dari sprinkle yang ada di langit-langit juga ikut memancar. Ezky, Lena dan Sinta memilih untuk berlindung dari pancuran air deras itu di sebuah sudut tersembunyi. Dari tempat mereka berada, mereka bisa melihat asap samar-samar dari ruang komputer. Kekhawatiran memicu jantung mereka untuk berdegap keras, meneriakkan harapan di dalam hati bahwa tidak terjadi sesuatu terhadap Limper.
Ternyata suara alarm dan sprinkle itu berlangsung lebih singkat dari yang mereka duga. Hanya beberapa menit, kemudian berhenti. Ezky langsung mencurigai bahwa alarm dan sprinkle itu segera dimatikan oleh Mortis yang tidak ingin didatangi oleh pemadam kebakaran.
Setelah memastikan alarm dan sprinkle itu telah berhenti, tanpa pikir panjang Ezky berlari melalui lorong yang tergenang air. Sesaat ia melupakan tentang Lena dan Sinta di belakangnya, pikirannya terlalu penuh dengan kecemasan. Berusaha membuang pikiran-pikiran buruk kalau ledakan ini berkaitan dengan Limper. Pertanyaan dalam kepala Ezky terjawab bahkan sebelum ia sampai di ruang komputer yang mengepulkan asap itu.
Di beberapa ruangan sebelum ruang komputer, tiba-tiba layar terkembang dan projector turun dari langit-langit tengah ruangan. Lena, yang mengikuti langkah Ezky dari belakang, memasuki ruangan yang bertuliskan “Laboratorium Bahasa”. Mata Lena lurus ke depan, tidak mempedulikan panggilan Ezky. Dan, ketika projector itu menyala, memunculkan nama “Limper” di layar dengan tulisan semerah darah, kaki Lena terasa lemas.
“Lena…” Ezky menghampirinya, namun matanya tetap menuju ke layar yang sekarang sedang memutarkan video tentang Limper.
Video itu ternyata cukup singkat, hanya memperlihatkan keseharian Limper yang sudah diketahui oleh Ezky. Nama asli Limper, yaitu Fabian, disebutkan berulang kali oleh seorang bapak tua, yang mana membuat Limper memasang tampang muak. Lalu, Limper yang suka diam-diam menghisap ganja di gudang belakang sekolah. Limper yang bertingkah seenaknya di kelas dan bahkan melemparkan sedotan bekas gigitannya ke Pak Hendy. Serta, Limper yang selalu bertingkah jenius di depan laptop-nya. Video itu selesai ketika Limper mengacungkan jari tengah ke orang yang diam-diam merekamnya itu dan menyengir lebar.
Lena menatap Ezky, matanya sudah basah dan bulir-bulir air mata sudah hampir jatuh ke pipi-nya. Tapi, ia menahannya dengan sekuat tenaga karena Sinta justru lebih terpuruk darinya.
Air mata Sinta bagaikan tak terbendung, ia duduk menyandar di depan pintu ruangan dan menutupi wajahnya. “Sudah tidak ada lagi… sudah tidak ada lagi yang bisa diharapkan… Kita tidak akan keluar dari sini!!” raungnya frustasi. Lena cepat-cepat menghampirinya dan memberikan pelukan yang diharapkannya bisa menenangkannya.
“Ezky… tolong jaga Sinta sebentar. Aku akan menutupi jasad Limper…” ujarnya lemah.
“Tunggu, Lena…” Ezky berusaha mencegahnya, namun Lena hanya tersenyum tipis. Ezky mengerti maksud Lena yang ingin membantunya agar ia tidak perlu melihat jasad Limper. Ia kemudian memberi anggukan kecil.
Dengan berjingkat-jingkat di lantai yang tergenang air, serta menutup mulutnya karena asap yang masih sedikit mendesis, Lena memasuki laboratorium komputer. Ia menyiapkan dirinya sebelum melangkah lebih jauh. Ternyata hanya sebagian dari ruangan itu yang terbakar, memberikan bekas hitam besar di tembok dan lantai sekelilingnya. Lena mengira di sanalah Limper berada. Ia menarik kain yang menutupi komputer-komputer bekas di sudut ruangan, kain itu basah dan ujung-ujungnya sedikit gosong, mungkin karena api yang memercik.
Begitu sampai di sisi ruangan yang terbakar, Lena menarik nafas ketika melihat sosok Limper. Isi perutnya bergejolak, membuatnya mengatur nafas sekuat tenaga. Tubuh itu berwarna kehitaman dengan bercak-bercak darah, di beberapa bagiannya masih mengeluarkan asap. Tapi, yang paling tidak bisa ia lihat adalah bagian kepalanya yang hanya tinggal separuh. Percikan darah menggenang di sekelilingnya beserta dengan kaca, serpihan-serpihan komputer, serta serpihan tubuh dan kepala Limper yang tidak berani ia lihat. Cepat-cepat Lena menutupi jasad mengenaskan itu dengan kain.
“Lena, kau tidak apa-apa?” tanya Ezky dari luar ruangan.
“Iya, aku akan segera keluar,” jawab Lena dengan suara bergetar.
“Tunggu… Bertahanlah sebentar di sana dan cari apakah Limper meninggalkan petunjuk. Aku tahu itu mungkin terbakar tapi…”
“I understand,” jawab Lena cepat. Ia kemudian melihat sekelilingnya dan perhatiannya langsung tertuju ke komputer tablet yang ajaibnya selamat dari ledakan meski ada retakan-retakan kecil di tepiannya. Lena segera berlari dengan hati-hati dan memperlihatkan itu kepada Ezky. “Where’s Sinta?
Relax. She’s still sitting there and crying,” jawab Ezky cepat.
Ia kemudian menyalakan komputer tablet itu dan melihat 3 huruf yang tampaknya ditulis dengan terburu-buru oleh Limper. Ezky dan Lena saling menatap, lalu Lena melirik ke arah Sinta. “It’s unfortunate…” bisik Ezky sambil meletakkan komputer tablet itu di lantai, membiarkannya terendam air dan kemudian menendangnya menjauh.
Lena kemudian menghampiri Sinta dan dengan lembut menyeka air mata-nya. “Sinta, jangan menangis. Jangan menyerah. Kita pasti masih bisa keluar dari sini!!” ucap Lena yakin.
“Tapi… tapi… Limper… Dia harapan kita satu-satunya! Iya, kan Ezky?!?” serunya dengan suara serak. Wajahnya basah oleh air mata.
“Tenanglah… Limper meninggalkan sesuatu untuk kita. Petunjuk untuk keluar dari sini. Itu adalah harapan bukan?” ujar Lena tenang, memberikan lirikan penuh arti kepada Ezky.
“Ya, itu adalah harapan…” ucap Ezky.
***

Mortis terkikik geli di lorong yang gelap. Tampaknya program yang mereka tanam sudah membunuh pecandu gila itu. Sekarang, ia ingin bermain-main dengan pria lembek yang selalu berlindung di balik ketampanannya ini.
Lagi-lagi Mortis terkikik ketika mendengar raungan dan teriakan minta tolong dari seorang pria yang terkunci di balik pintu di hadapannya ini. Ia mengokang shotgun-nya dan tersenyum. Kali ini ia akan langsung memburu mereka satu persatu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar