Dunia sudah berubah di mata Artha. Dahulu
semuanya berwarna-warni seperti pelangi, penuh senyuman dan pujian bangga dari
orang-orang di sekelilingnya. Namun, sekarang senyuman itu berganti dengan alis
merengut dan pujian berganti dengan cacian. Orang tuanya memandang dengan sinis
dan bahkan kakaknya mengatakan semua usahanya kurang. Hanya karena prestasinya
di SMA ini menurun, hanya karena ia bukan juara umum di SMA ini.
Lama-lama beban yang disampirkan di
pundaknya terasa berat untuk ia pikul. Rasa sakit itu semakin membesar dari
hari ke hari dan bahkan membuatnya malas untuk pulang ke rumah. Bahkan
menginjak keset di depan pintu depan rumah terasa menjijikkan dan berlendir.
Untunglah ia mempunyai biola-nya, yang alunan merdu-nya dapat menyejukkan
hatinya, membuatnya melupakan caci maki itu.
Artha mengenal biola semenjak kecil.
Seorang paman yang ramah dengan senyum menawan memberikannya sebagai hadiah
ketika ia menjadi anak baik untuknya. Ia masih ingat bagaimana paman itu
membelainya dan mengecupnya lembut sebelum paman itu memberikan biola itu
kepadanya. Dan, setiap paman itu selesai mengelus seluruh tubuhnya, paman itu
akan mengajarkannya cara bermain biola. Semenjak itulah biola itu menjadi
sahabatnya.
Biola itu menjadi sahabatnya bertahun-tahun
dan juga memberikannya prestasi gemilang di bidang musik yang membuat keluarganya
bangga. Ketika ia memenangi concour music tingkat nasional yang dilihatnya
hanyalah senyum keluarganya. Terlebih ia juga menjadi juara umum saat ia SMP.
Ia masih ingat ketika segala keinginannya diwujudkan dan segala hal dimudahkan
untuknya.
Tapi, segala hal indah itu hanyalah
kenangan ketika prestasinya mulai menurun saat masuk SMA. Di SMA-nya, hanya ia
satu-satunya yang bermain biola dan klub musik juga tidak berkembang sehingga
ia kehilangan prestasinya di bidang musik. Seolah-olah itu tidak cukup, ia
gagal jadi juara umum sekolah dan hanya mendapatkan predikat siswa terbaik di
kelasnya. Seketika dunianya hancur dan ia merasakan betapa sulitnya hidup.
Artha merasa ia ditarik ke dalam lorong
gelap yang diselimuti lumut hijau dan berbau busuk seperti kotoran manusia.
Rasa putus asa yang bahkan tidak dapat diobati oleh alunan merdu biola yang
lama-kelamaannya juga membuatnya frustasi karena ia tidak bisa membuat nada
yang diinginkannya mengalun. Ia-pun mencari pelampiasan baru dengan membuat
irisan tipis di lengannya. Entah kenapa ia merasa dengan itu rasa sakit yang
dirasakannya seperti menguar keluar.
Saat itu jugalah ia bertemu dengan pil-pil
kecil di dalam botol kaca berwarna kuning. Entah bagaimana, suatu hari saat
baru masuk kelas 2 SMA ia menemukan botol itu di dalam tas-nya. Dari petunjuk
di labelnya, ia tahu apa kegunaan pil-pil kecil itu. Tanpa pikir panjang, Artha
meminumnya. Toh, ia sudah berada dalam kegelapan, tidak akan ada lagi yang bisa
ia lakukan selain terus terjerumus ke dalamnya.
Di luar dugaannya, pil-pil itu justru
memberikannya kebahagiaan yang sebelumnya tidak pernah ia rasakan. Ia merasa
melayang dan beban menyakitkan itu seperti terangkat. Sensasi aneh yang
dirasakannya ketika obat itu memberikan candu yang membahagiakan kepada otaknya
tak bisa ia enyahkan. Hanya begitu saja, ia begitu terikat dengan pil-pil kecil
itu. Tanpa disadarinya, ia tak bisa menjalankan hidupnya tanpa pil-pil ajaib
itu.
Sayangnya, ia juga kehilangan nyawanya karena
ketergantungannya akan pil-pil itu. Dalam tatapan terakhir sebelum kematiannya,
pil-pil kecil itu bagaikan menertawakan sosoknya yang putus asa untuk
menggapainya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar