Selasa, 25 November 2014

School Game : Interlude III

Interlude: ARTHA


Dunia sudah berubah di mata Artha. Dahulu semuanya berwarna-warni seperti pelangi, penuh senyuman dan pujian bangga dari orang-orang di sekelilingnya. Namun, sekarang senyuman itu berganti dengan alis merengut dan pujian berganti dengan cacian. Orang tuanya memandang dengan sinis dan bahkan kakaknya mengatakan semua usahanya kurang. Hanya karena prestasinya di SMA ini menurun, hanya karena ia bukan juara umum di SMA ini.
Lama-lama beban yang disampirkan di pundaknya terasa berat untuk ia pikul. Rasa sakit itu semakin membesar dari hari ke hari dan bahkan membuatnya malas untuk pulang ke rumah. Bahkan menginjak keset di depan pintu depan rumah terasa menjijikkan dan berlendir. Untunglah ia mempunyai biola-nya, yang alunan merdu-nya dapat menyejukkan hatinya, membuatnya melupakan caci maki itu.
Artha mengenal biola semenjak kecil. Seorang paman yang ramah dengan senyum menawan memberikannya sebagai hadiah ketika ia menjadi anak baik untuknya. Ia masih ingat bagaimana paman itu membelainya dan mengecupnya lembut sebelum paman itu memberikan biola itu kepadanya. Dan, setiap paman itu selesai mengelus seluruh tubuhnya, paman itu akan mengajarkannya cara bermain biola. Semenjak itulah biola itu menjadi sahabatnya.
Paman itu? Paman itu menghilang begitu ia berumur 12 tahun.
Biola itu menjadi sahabatnya bertahun-tahun dan juga memberikannya prestasi gemilang di bidang musik yang membuat keluarganya bangga. Ketika ia memenangi concour music tingkat nasional yang dilihatnya hanyalah senyum keluarganya. Terlebih ia juga menjadi juara umum saat ia SMP. Ia masih ingat ketika segala keinginannya diwujudkan dan segala hal dimudahkan untuknya.
Tapi, segala hal indah itu hanyalah kenangan ketika prestasinya mulai menurun saat masuk SMA. Di SMA-nya, hanya ia satu-satunya yang bermain biola dan klub musik juga tidak berkembang sehingga ia kehilangan prestasinya di bidang musik. Seolah-olah itu tidak cukup, ia gagal jadi juara umum sekolah dan hanya mendapatkan predikat siswa terbaik di kelasnya. Seketika dunianya hancur dan ia merasakan betapa sulitnya hidup.
Artha merasa ia ditarik ke dalam lorong gelap yang diselimuti lumut hijau dan berbau busuk seperti kotoran manusia. Rasa putus asa yang bahkan tidak dapat diobati oleh alunan merdu biola yang lama-kelamaannya juga membuatnya frustasi karena ia tidak bisa membuat nada yang diinginkannya mengalun. Ia-pun mencari pelampiasan baru dengan membuat irisan tipis di lengannya. Entah kenapa ia merasa dengan itu rasa sakit yang dirasakannya seperti menguar keluar.
Saat itu jugalah ia bertemu dengan pil-pil kecil di dalam botol kaca berwarna kuning. Entah bagaimana, suatu hari saat baru masuk kelas 2 SMA ia menemukan botol itu di dalam tas-nya. Dari petunjuk di labelnya, ia tahu apa kegunaan pil-pil kecil itu. Tanpa pikir panjang, Artha meminumnya. Toh, ia sudah berada dalam kegelapan, tidak akan ada lagi yang bisa ia lakukan selain terus terjerumus ke dalamnya.
Di luar dugaannya, pil-pil itu justru memberikannya kebahagiaan yang sebelumnya tidak pernah ia rasakan. Ia merasa melayang dan beban menyakitkan itu seperti terangkat. Sensasi aneh yang dirasakannya ketika obat itu memberikan candu yang membahagiakan kepada otaknya tak bisa ia enyahkan. Hanya begitu saja, ia begitu terikat dengan pil-pil kecil itu. Tanpa disadarinya, ia tak bisa menjalankan hidupnya tanpa pil-pil ajaib itu.
Sayangnya, ia juga kehilangan nyawanya karena ketergantungannya akan pil-pil itu. Dalam tatapan terakhir sebelum kematiannya, pil-pil kecil itu bagaikan menertawakan sosoknya yang putus asa untuk menggapainya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar