Selasa, 11 November 2014

School Game : Chapter 5

Wound

Dengan cell phone di tangannya untuk menyinari jalan, Ezky berjalan perlahan-lahan, diikuti oleh Lena dan Sinta yang berjalan mengikutinya dari belakang. Sesekali Ezky menyinari jendela agar ia tahu ada apa di luar, yang masih tetap sama setiap kali ia mengarahkan cahaya dari cell phone-nya. Di luar hanya ada lapangan basket kosong yang sunyi, tidak terlihat apapun yang bergerak. Jika memang pembunuh itu dapat menembak mereka apabila mereka mencoba keluar maka semestinya pembunuh itu akan mengawasi dari luar. Namun, tidak ada tanda-tanda kehidupan di luar sekolah.
Tanpa terasa jam sudah menunjukkan pukul 9 malam, sudah berlalu lebih dari 2 jam setelah Mortis menyatakan permainan keji-nya ini telah dimulai. Hal yang disadari Sinta sedikit menguntungkan karena mungkin orang tua-nya akan mulai mencarinya. “Iya, kan? Jika orang tua-ku menyadari aku belum pulang, mereka mungkin akan mulai mencariku. Dan, kita bisa selamat dari perangkap ini!” serunya dengan senyum riang yang dibuat-buat.
Ezky dan Lena saling bertatapan, lalu Lena berkata, “Aku kagumi semangatmu, tapi semestinya kau berharap orang tua-mu tidak akan kemari untuk mencarimu.” Ada jeda beberapa detik sebelum ia melanjutkan, “Aku takut jika orang tua-mu kemari Mortis juga akan membunuh mereka. Menimbang apa yang baru saja terjadi dengan Resta dan Loly, kita tidak tahu apa yang akan dilakukannya.” Lena menatap Sinta dengan sorot mata sedih sementara mata Sinta mulai berkaca-kaca.
“Ayo jalan lagi. Kita harus mencari Limper…” ujar Ezky.
“Tunggu. Aku haus,” ucap Lena sambil menunjuk ke dispenser yang terletak dekat wastafel. Di sekolah mereka memang disebar beberapa dispenser air minum dan biasanya bersebelahan dengan wastafel cuci tangan.
“Hati-hati dan cepatlah…” Ezky tetap terdiam di tempat sambil menyinari Lena dan Sinta yang berlari kecil menuju dispenser.
Mereka mengambil gelas kecil dari dalam lemari penyimpanan yang ada di bawah dispenser dan meneguk air tersebut. “Ezky, kau yakin tidak mau. Kita mungkin berada di bawah ancaman pembunuh, tapi bukan berarti kita tidak bisa dehidrasi,” ucap Lena meledek.
Dengan helaan nafas, Ezky mendekat dan mengambil gelas yang ada di tangan Lena dan meminum airnya. Diam-diam Sinta memperhatikan Ezky yang minum dengan gelas bekas Lena, ia mengepalkan tangannya dan menggigit bibir.
Sementara itu, Lena menuju wastafel dan memeriksa wajahnya di kaca. Ia terlihat sedikit pucat dan merengut kesal sambil melirik Ezky sembunyi-sembunyi. Tiba-tiba, di sudut matanya, ia menyadari sesuatu. Ada sekelebat titik merah yang terlihat di kaca wastafel! Cepat-cepat ia membalikkan badan dan berjalan cepat mendekati jendela. Matanya mencari-cari titik merah yang dilihatnya tadi.
“Lena!!” Ezky menarik Lena cepat-cepat. “Kau gila?!? Jangan mendekati jendela!!” serunya tepat di depan wajah Lena.
Nafas Lena memburu ketika ia menyadari bahwa kakinya sudah sangat dekat dengan jendela. Ia bisa terbunuh hanya dengan beberapa langkah lagi. Dengan tangan bergetar ia mencengkram lengan Ezky, “A, ada…” Lena menelan ludah. “Ada titik merah… yang terlihat dari gedung seberang…” ucapnya terbata-bata.
Cepat-cepat Ezky menengok dan ke arah yang ditunjuk oleh Lena. Meskipun sekilas, ia bisa melihat titik merah yang dengan cepat menghilang itu. “Jangan-jangan itu…” Ezky hendak mengatakan apa yang dipikirkannya tentang titik merah itu, tapi ia takut itu akan membuat Lena dan Sinta lemas. Ini semua seperti dugaannya setelah melihat Heru tertembak dari jarak jauh. Sniper. Dan, pelaku lain selain Mortis. Pelaku lain yang mengawasi gerak-gerik mereka dari kejauhan.
Ezky menoleh kepada Lena dan mencengkram lengannya. “Kalian berdua tunggu di kelas terdekat. Biar aku pergi memeriksa apa yang…”
“Enggak!!” Lena memotongnya cepat. “Kau kira aku akan membiarkanmu pergi sendiri? Dan… dan… bagaimana jika Mortis menemukan kami atau kau dan melakukan hal yang sama dengan yang ia lakukan kepada Resta dan Loly?!?” sentaknya, tangannya yang mencengkram lengan baju Ezky bergetar.
Mendengar bentakan Lena, Ezky mendesah, apa yang Lena ucapkan ada benarnya. Ia tidak seharusnya meninggalkan mereka berdua sendirian hanya untuk memuaskan ego-nya bahwa yang ia duga benar. Meskipun, sempat terpikir olehnya apabila ia berhasil menangkap penembak jarak jauh itu, ia bisa menarik Mortis keluar.
“Jangan pergi, Ezky…” ucap Lena, tangannya yang mencengkram lengan baju Ezky sedikit bergetar.
Ketika matanya bertemu dengan mata Lena, Ezky teringat ketika mereka pertama kali bertemu waktu kecil dahulu. Bagaimana Lena mengubahnya menjadi dirinya yang sekarang, Lena yang kuat dan ceria, tidak pernah mau menyerah dan cerdas, yang selalu memberinya kekuatan ketika ia terpuruk. Tapi, Lena yang saat ini dilihatnya bukanlah Lena yang kuat, ada rasa cemas dan takut yang menguasai matanya yang biasanya bersinar dengan kehangatan itu.
Dengan lembut tangan Ezky menyentuh wajah Lena, “Baiklah, aku mengerti. Sekarang ayo bangun, kita harus terus bergerak,” ujarnya. Bersama dengan Sinta, ia membantu Lena untuk bangkit berdiri. Ia sekilas melihat Sinta yang wajahnya memerah dan lengannya sedikit terkepal. Ia pasti berusaha sekuat tenaga agar tidak terlihat kesal di depan Lena dan dirinya. Ezky mendesah, berpikir bahwa ia harus melakukan sesuatu terhadap perasaan Sinta kepadanya.
“Kau sudah siap?” tanya Ezky kepada Lena dan Sinta yang mengangguk yakin. Ia kemudian mematikan handphone-nya untuk menghemat baterai. Ia tidak tahu sampai kapan Mortis akan menahan mereka di sini, akan lebih baik jika ia menghemat energy cahaya sepanjang masih ada penerangan dari jendela.
Ketika mereka berbelok di ujung lorong untuk menaiki tangga, tiba-tiba terdengar suara merdu yang memilukan bahkan cenderung mengerikan hingga gigi Sinta bergemeletuk. Suara itu terdengar samar-samar, hampir seperti tiupan angin, namun itu jelas suara biola.
“Apakah itu… Ar… Artha?” tanya Sinta. “Hanya dia yang mampu bermain biola di sekolah ini, kan?”
“Bodoh… Apa yang dia lakukan? Itu sama saja menunjukkan posisinya kepada Mortis!!” sentak Ezky.
“Sinta…” Lena menggenggam bahu temannya itu, “Kau tahu di mana letak ruang music? Artha pasti bermain biola di sana, kan!” Lena mengalihkan pandangannya kepada Ezky, “Kita harus menemukan dia, Ky! Sebelum Mortis!”
Ezky menatap Sinta lekat-lekat, “Sinta, jika kau tahu jalannya. Tunjukkan pada kami…”
Wajah Sinta memerah seketika, terlihat jelas bahkan di tengah-tengah cahaya yang hanya membias samar melalui jendela. “Iy, iyaa… Aku tahu!” Sinta bangkit dengan semangat dan mulai menaiki tangga. Langkahnya langsung diikuti oleh Lena dan Ezky. Dalam hati mereka bertiga, mereka berharap agar mereka sampai tepat waktu sebelum Artha ditemukan oleh Mortis, sebelum mereka hanya menemukan Artha yang tidak bernyawa.
***
Kondisinya sudah sangat tidak baik, pandangan matanya mulai mengabur dan keringat mengalir deras di pelipis dan leher-nya. Untunglah Artha sudah melihat ruang musik yang hanya tinggal beberapa langkah lagi dari tempatnya sekarang berpijak. Namun, jarak yang hanya beberapa langkah itu terasa sangat jauh karena kondisinya ini. Andai saja ia tidak ketergantungan dengan obat itu, ia pasti tidak akan terjebak di sekolah dengan seseorang yang mengancam nyawanya.
Setelah tertatih-tatih akhirnya Artha sampai di ruang music. Ia merogoh kantung rok-nya dan mengeluarkan kunci. Sebagai satu-satunya orang yang sangat rajin berlatih biola di ruang music itu, Artha diberikan kepercayaan oleh guru kesenian untuk memegang kunci cadangan ruang music. Begitu ruangan itu terbuka, Artha melihat sekeliling, tampaknya cukup aman. Ia kemudian mengunci ruang musik itu dari dalam, berjaga-jaga agak orang yang menyebut dirinya Mortis itu tidak tiba-tiba mendobrak masuk hanya karena kelalaiannya yang sepele.
Setelah memastikan dirinya aman, Artha cepat-cepat mencari botol kecil berisi obat itu. Pertama-tama ia mencari di lemari berisi biola yang biasa dimainkannya, namun tidak ada. Ia lalu mencari di bawah piano, di sela-sela lemari, di bawah meja, namun hasilnya nihil. Ia tidak dapat menemukan obat itu. Ia duduk bersandar di dinding dengan lemas, memeluk lututnya dan mulai terisak. “Mati… aku akan mati…” isaknya kepada dirinya sendiri.
Bayangan dirinya selama hidup mulai merasuk masuk ke dalam pikirannya. Puja-puji orang tua-nya karena kecerdasan dirinya, tatapan kagum semua orang. Artha tersenyum mengingatnya. Tetapi, kenangan itu segera berhenti menjadi kenangan yang menyakitkan ketika orang tua-nya mulai memandang rendah dirinya karena nilainya yang menurun ketika ia masuk SMA, para guru yang tadinya menaruh harapan padanya mulai memandangnya sebelah mata.
Air mata mulai menetes di pipi-nya. Apa semua hal yang ia lakukan sampai sekarang tidak cukup? Apa waktu belajarnya kurang hingga ia hanya mendapatkan juara 2 di sekolah? Dan, saat itulah botol kecil itu membuat semuanya menjadi ringan. Memberikannya kebahagiaan meskipun ia tahu itu hanya kebahagiaan semu.
Ia melihat jari-jarinya yang bergetar, beberapa di antaranya sudah mati rasa bahkan membiru. Pandangannya tambah mengabur, putih matanya sudah mulai memerah dan membengkak. Seluruh badannya mulai terasa dingin dan rasa mual mulai menjalari tubuhnya. Rasa sakit yang ia rasakan mulai tak tertahankan. Tidak hanya mendera tubuhnya, namun juga pikirannya. Ia harus mengenyahkan rasa sakit ini.
Lalu dengan pandangan mengabur ia melihat biola di depannya dan melihat laci meja. Dengan seluruh kekuatannya ia berdiri dan meraih laci meja itu. Cepat-cepat ia membukanya dan dalam seketika menemukan benda yang dicarinya.
Cutter. Ini akan menghentikan penderitaannya. Ini adalah satu-satunya jalan. Ia tidak akan membiarkan dirinya dibunuh oleh Mortis dalam keadaan seperti ini.
“Mortis… kau tidak akan kubiarkan memiliki jiwa-ku…”
Ia mengarahkan cutter itu ke pergelangan tangannya dan menusukkannya berkali-kali. Tusukan pertama sangat bertenaga hingga darah memercik ke wajahnya. Sesekali ia membuat gerakkan mengiris dan sesekali gerakan menghujam hingga darah menetes deras dari pergelangan tangannya. Ia lalu beralih ke tangan kanannya dan melakukan gerakan yang sama. Ketika ia berhenti pergelangan tangan itu penuh lubang dan irisan yang menganga. Artha tersenyum ketika darah merah itu melumuri tangannya. Kali ini rasa sakit itu
Senyum lebar menghiasi wajahnya ketika ia menoleh ke arah biola. Dengan langkah lunglai ia berjalan menggapai biola itu, darah mulai mengucur deras dari pergelangan tangannya yang sudah hancur. Ia mengangkat biola itu dan menempelkannya ke dagu. “Permainan terakhir… Sebelum kematianku…”
Nada-nada mulai mengalun dari gesekan biola Artha, mengiringi rasa sakitnya yang terus berdenyut dan menjangkit ke seluruh tubuhnya. Ia terduduk di lantai, tangannya masih terus memainkan biola meski penggeseknya kini sudah berlumuran darah. Wajah Artha-pun tetap tersenyum meski bibirnya sudah putih memucat.
Kakinya yang melemah membuatnya tersungkur jatuh tapi ia tetap memainkan biolanya. Nada-nada yang mengalun terdengar lebih syahdu, lebih menyayat dan menyedihkan. Artha seolah-olah meletakkan seluruh perasaan dan rasa sakitnya di dalam setiap gesekkan biola itu.
Matanya kian terpejam seiring dengan gesekan biola-nya yang mulai melemah. Saat itulah ia mendengar suara langkah perlahan dan langkah itu berhenti di depan pintu ruang musik. Artha hanya mendenguskan nafas, ia terlalu lemah bahkan untuk membuka matanya. Apabila itu Mortis, pembunuh itu tidak mungkin masuk ke dalam ruangan ini karena ia sudah menguncinya. Sekilas seringai puas menghiasi wajahnya yang kini sudah basah oleh peluh.
Ia akan aman di sini… akan aman menjemput kematiannya.
Namun, nafas tersengal Artha tertahan ketika tiba-tiba Mortis berhasil membuka kunci. pintu ruang musik. Refleks akan bahaya, Artha berusaha menggerakkan tubuhnya, tangannya menggapai-gapai lemah di atas genangan darah.
Ternyata, pintu itu hanya terbuka sedikit, memberi celah kecil kepada tangan bersarung tangan hitam untuk menyelinap dan meletakkan sesuatu. Lalu pintu itu kembali menutup. Mata Artha yang tadinya sudah gelap kembali bercahaya ketika menyadari tangan bersarung tangan hitam itu meletakkan botol kecil yang sedari tadi ia cari. Botol kecil penyelamat kebahagiaannya.
Adrenalin Artha memacu tubuhnya yang kesakitan untuk menggapai botol kecil itu. Ia menyeret tubuhnya hingga menghasilkan jejak darah di lantai. Namun, seberusaha apapun ia untuk bergerak, rasa sakit yang luar biasa menjalari tubuhnya. Ia bagaikan ditusuk oleh seribu jarum yang perlahan menghancurkan jantungnya. Ia menjulurkan tangannya dengan tenaganya yang tersisa kea rah botol kecil itu. Tetapi, sesuatu menghentikannya. Sesuatu yang sama yang membuat detak jantungnya berhenti dan paru-parunya berhenti bekerja.
Beberapa derap kaki yang berlari terdengar dari lorong di luar ruang musik. Mereka berhenti di depan ruang musik dan dengan tergesa-gesa membuka pintunya. “Artha!!” Terdengar bunyi berdenting ringan ketika pintu terbelalak membuka. Ezky, Lena dan Sinta melangkah masuk. Sinta langsung terkesiap ketika melihat Artha tergeletak lemas dan bergelimangan darah tepat di depan matanya.
“Kyaaaaa!!!!” spontan Sinta berteriak, namun dengan segera Lena menutup mulutnya. Air mata deras mengalir dari mata Sinta.
“Jangan teriak… Mortis pasti masih ada di dekat sini…” bisik Lena. Ia melihat jasad Artha sekilas dan langsung mengalihkan pandangan matanya.
“Aku rasa ini bukan perbuatan Mortis…” ujar Ezky tiba-tiba, tatapannya memandang lurus ke luka-luka di kedua pergelangan tangan Lena. Ia melirik Lena yang balas melihatnya dengan raut wajah bertanya-tanya, “Tampaknya Artha menyakiti dirinya sendiri hingga tewas.” Ezky berjalan mundur ketika tiba-tiba ujung kakinya menyentuh sesuatu yang berdenting. Ezky menunduk untuk mengambil sebuah botol kecil. Di botol kecil itu ia melihat nama Artha tertera di sana. Dari deskripsi-nya, Ezky tahu itu adalah obat penghilang rasa sakit. Ketika beberapa pertanyaan muncul di kepala-nya, tiba-tiba terdengar suara berderak.
Ternyata suara itu datang dari langit-langit. Rupanya ruang musik adalah ruang yang luput dari modernisasi sekolah sehingga masih menggunakan system projector yang lama. Tidak ada layar putih kali ini karena projector itu langsung memproyeksikan gambar di papan tulis kelabu berwarna hijau. Dengan hanya Artha yang menggunakan ruang musik, wajar jika kepala sekolah mengabaikan modernisasi ruangan terpencil ini.
Ketika projector diturunkan, seperti yang ia lakukan kepada jasad Loly dan Resta, Lena menarik kain penutup piano, mengibaskannya dan menutupi jasad Artha dengan kain berdebu itu. Tidak ada air mata yang menetes di pipinya padahal ia tahu dirinya sedang berduka. Entahlah, mungkin air mata-nya hanya kering. Lagipula kemarahan yang saat ini dirasakannya melebihi rasa sedihnya. Ia marah kepada dirinya sendiri karena ia tidak bisa melakukan apa-apa untuk menyelamatkan teman-temannya. Sudah 4 orang dan yang bisa ia lakukan hanya melarikan diri dan terdiam ketika teman-temannya menghadapi ajal mereka.
Kaki Lena melemah dan ia terduduk, menyenderkan punggungnya di tembok yang dingin. Perlahan Sinta berjalan ke arahnya dan duduk di sampingnya. Pandangan Lena mengarah ke Ezky yang berdiri menatap layar kosong yang mulai disinari proyektor. Dan, seperti itu adalah rutinitasnya, Lena menatap lauar dengan pandangan kosong.
Seperti video-video sebelumnya, layar menunjukkan tulisan nama “ARTHA” dengan warna merah darah. Sebuah video yang lagi-lagi terlihat seperti diambil diam-diam namun dengan kualitas yang sangat baik kembali dimainkan. Pertama-tama terlihat Artha yang sedang membaca buku pelajaran di kelas, lalu ia memelototi Limper yang bertingkah konyol di kelas. Ketika pelajaran dimulai seorang guru memujinya karena berhasil mendapat nilai terbaik untuk kelas 2 SMA di sekolah mereka dan juga menjadi juara kompetisi biola di luar negeri beberapa hari yang lalu. Video kemudian beralih kepada gambar Artha yang sedang berlatih biola sendirian di ruang musik, wajahnya terlihat sangat ceria dan menikmati kegiatannya.
Kemudian warna film yang tadinya terang berubah menjadi coklat suram ketika video menunjukkan kehidupan Artha di rumahnya. Bentakan orang tua-nya yang merasa jijik karena Artha tidak menjadi juara umum dan hanya menjadi juara untuk kelas 2 di sekolah-nya terdengar nyaring dan menyakitkan. Terlihat Artha yang meremas-remas jarinya dan menggigit bibirnya. Namun, pandangan matanya yang tertuju ke lantai tetap kosong. Tampaknya bentakan dan amarah itu adalah makanan sehari-hari bagi telinganya.
Kamera kemudian mengikuti Artha menuju ke kamarnya dengan langkah lunglai. Begitu sampai di kamar, ia tersungkur di balik pintu, pandangan matanya masih tetap kosong. Artha kemudian merangkak perlahan menuju kolong tempat tidurnya. Ia membuka sebuah kotak dan mengeluarkan botol kecil yang terbuat dari kaca. Botol yang persis ada di genggaman tangan Ezky sekarang.
Artha membuka botol kecil yang berdenting itu dan menenggak beberapa pil yang ada di dalamnya. Kemudian, ia mengeluarkan satu benda lagi. Cutter. Masih dengan pandangan kosong, Artha member irisan tipis cutter di lengan sebelah kirinya yang ternyata banyak terdapat bekas luka, bukti bahwa Artha telah melakukan itu berkali-kali. Begitu darah merembes, Artha tersenyum, pandangannya yang tadi tampak kosong menjadi berbinar. Artha menjatuhkan kepalanya di ranjang dan tangannya yang berdarah diletakkannya di lantai. Ia tersenyum, tersenyum bagaikan semua beban yang ada di pundaknya terangkat dengan rasa sakit yang ia rasakan. Rasa sakit yang perlahan memudar dan dapat ia nikmati karena pil-pil ajaib yang ia konsumsi. Ia merasa tenang, damai dan… video berakhir.
Ruang musik hening, yang terdengar hanya desahan nafas mereka bertiga. Ezky menghampiri Lena dan Sinta yang masih terduduk lemas menyender di dinding. “Kalian berdua tidak apa-apa?” tanyanya dengan suara lemah, pertanyaan yang sebenarnya ia tahu jawabannya.
Lena menatap Ezky dengan mata berkaca-kaca, ia memegang erat tangan Sinta. “Kenapa? Kenapa Mortis harus melakukan ini kepada kita semua? Kenapa?!?” Lena meninggikan suaranya.
“Aku tidak tahu, Lena!” Ezky menangkup wajah Lena dengan kedua tangannya. “Apapun alasannya, yang aku tahu kita harus bertahan hidup…” bisiknya lemah.
“Aku tahu Loly dan Resta mungkin pantas dibunuh karena perbuatan mereka atas anak-anak yang mereka bully. Tapi, Artha? Meskipun ia sombong dan tidak punya teman, ia tidak pernah menyakiti siapapun…” gumam Sinta lemah.
Ezky dan Lena melihat Sinta bersamaan. Mereka saling bertatapan sebelum akhirnya Lena berbicara, “Aku tidak tahu alasannya, tapi semestinya kau tidak berkata Loly dan Resta pantas mendapatkan semua ini, Sinta. Tidak ada orang yang pantas mati…”
“Lagipula Artha tidak dibunuh oleh Mortis. Ia bunuh diri…” ucap Ezky yang serentak membuat Lena dan Sinta membelalakkan matanya. “Aku tadi melihat sekilas irisan-irisan di pergelangan tangannya. Lalu, ada cutter berlumuran darah di sebelah sana. Dan, video itu menguatkan dugaanku…”
Lena terdiam sejenak, terlihat memikirkan dugaan Ezky. “Tapi, jika begitu… Apa itu berarti Mortis sudah memperkirakan Artha akan bunuh diri apabila dihadapkan dengan kondisi seperti ini?”
“Entahlah… Tapi, jika memang benar demikian, itu berarti Mortis adalah seorang yang sangat cerdas hingga bisa memperkirakan apa yang akan dilakukan korbannya…” ucap Ezky, sedikit ragu karena asumsinya berasal dari terlalu banyak membaca cerita misteri.
Dilihatnya lagi jasad Artha yang telah ditutupi oleh kain berdebu, kemudian Lena memandang Ezky dan Sinta bergantian, “Apapun yang terjadi kita harus mencegah pembunuhan selanjutnya dan keluar dari sini!” Matanya penuh tekad saat mengatakan hal tersebut.
“Kita… kita… tidak mungkin bisa melawannya…” ujar Sinta takut-takut.
“Kalau begitu, kita harus berpikir lebih cerdas darinya!” seru Lena dalam ketegasan meskipun ia berbisik. “Dan, untuk itu kita perlu Limper. Kita harus mencari Limper sebelum Mortis menemukannya dan membunuhnya…”
Hening sejenak, Lena dan Ezky saling bertatapan, dalam diam Ezky bisa mengerti maksud Lena, “Ya, kita harus temukan Limper. Dia mungkin sekarang ada di laboratorium komputer, itu keahliannya…”
Senyum tipis menghiasi wajah Lena dan ia mengangguk yakin. Lalu, mereka bertiga melangkah keluar dari ruang musik. Membawa keyakinan baru bahwa nyawa mereka bisa diselamatkan dengan bantuan dari Limper.
***
 Di sudut yang gelap, Mortis tersenyum lebar hingga ia yakin bibirnya akan robek jika ia terus melakukannya. Mendengarkan percakapan ketiga orang itu membuatnya sumringah karena mereka mengakui kecerdasannya. Mungkin rencana ini bukan hasil kerja otak-nya, tetapi ia tetap bangga karena telah melaksanakan rencana itu tanpa cela. Orang-orang itu, orang-orang yang membantunya ini, benar-benar telah memberikannya kesempatan balas dendam yang, seperti kata mereka, indah dan menyenangkan.
Sekarang mereka bertiga akan bergerak menuju Limper. Kebetulan, itulah tempat pertunjukkan selanjutnya, tempat pertunjukkan yang akan dihias dengan ledakan indah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar