Wound
Dengan cell phone di tangannya untuk
menyinari jalan, Ezky berjalan perlahan-lahan, diikuti oleh Lena dan Sinta yang
berjalan mengikutinya dari belakang. Sesekali Ezky menyinari jendela agar ia
tahu ada apa di luar, yang masih tetap sama setiap kali ia mengarahkan cahaya
dari cell phone-nya. Di luar hanya ada lapangan basket kosong yang sunyi, tidak
terlihat apapun yang bergerak. Jika memang pembunuh itu dapat menembak mereka
apabila mereka mencoba keluar maka semestinya pembunuh itu akan mengawasi dari
luar. Namun, tidak ada tanda-tanda kehidupan di luar sekolah.
Tanpa terasa jam sudah menunjukkan pukul 9
malam, sudah berlalu lebih dari 2 jam setelah Mortis menyatakan permainan
keji-nya ini telah dimulai. Hal yang disadari Sinta sedikit menguntungkan
karena mungkin orang tua-nya akan mulai mencarinya. “Iya, kan? Jika orang
tua-ku menyadari aku belum pulang, mereka mungkin akan mulai mencariku. Dan,
kita bisa selamat dari perangkap ini!” serunya dengan senyum riang yang
dibuat-buat.
Ezky dan Lena saling bertatapan, lalu Lena
berkata, “Aku kagumi semangatmu, tapi semestinya kau berharap orang tua-mu
tidak akan kemari untuk mencarimu.” Ada jeda beberapa detik sebelum ia
melanjutkan, “Aku takut jika orang tua-mu kemari Mortis juga akan membunuh
mereka. Menimbang apa yang baru saja terjadi dengan Resta dan Loly, kita tidak
tahu apa yang akan dilakukannya.” Lena menatap Sinta dengan sorot mata sedih
sementara mata Sinta mulai berkaca-kaca.
“Ayo jalan lagi. Kita harus mencari
Limper…” ujar Ezky.
“Tunggu. Aku haus,” ucap Lena sambil
menunjuk ke dispenser yang terletak dekat wastafel. Di sekolah mereka memang
disebar beberapa dispenser air minum dan biasanya bersebelahan dengan wastafel
cuci tangan.
“Hati-hati dan cepatlah…” Ezky tetap
terdiam di tempat sambil menyinari Lena dan Sinta yang berlari kecil menuju
dispenser.
Mereka mengambil gelas kecil dari dalam
lemari penyimpanan yang ada di bawah dispenser dan meneguk air tersebut. “Ezky,
kau yakin tidak mau. Kita mungkin berada di bawah ancaman pembunuh, tapi bukan
berarti kita tidak bisa dehidrasi,” ucap Lena meledek.
Dengan helaan nafas, Ezky mendekat dan
mengambil gelas yang ada di tangan Lena dan meminum airnya. Diam-diam Sinta
memperhatikan Ezky yang minum dengan gelas bekas Lena, ia mengepalkan tangannya
dan menggigit bibir.
Sementara itu, Lena menuju wastafel dan
memeriksa wajahnya di kaca. Ia terlihat sedikit pucat dan merengut kesal sambil
melirik Ezky sembunyi-sembunyi. Tiba-tiba, di sudut matanya, ia menyadari
sesuatu. Ada sekelebat titik merah yang terlihat di kaca wastafel! Cepat-cepat
ia membalikkan badan dan berjalan cepat mendekati jendela. Matanya mencari-cari
titik merah yang dilihatnya tadi.
“Lena!!” Ezky menarik Lena cepat-cepat.
“Kau gila?!? Jangan mendekati jendela!!” serunya tepat di depan wajah Lena.
Nafas Lena memburu ketika ia menyadari
bahwa kakinya sudah sangat dekat dengan jendela. Ia bisa terbunuh hanya dengan
beberapa langkah lagi. Dengan tangan bergetar ia mencengkram lengan Ezky, “A,
ada…” Lena menelan ludah. “Ada titik merah… yang terlihat dari gedung
seberang…” ucapnya terbata-bata.
Cepat-cepat Ezky menengok dan ke arah yang
ditunjuk oleh Lena. Meskipun sekilas, ia bisa melihat titik merah yang dengan
cepat menghilang itu. “Jangan-jangan itu…” Ezky hendak mengatakan apa yang
dipikirkannya tentang titik merah itu, tapi ia takut itu akan membuat Lena dan
Sinta lemas. Ini semua seperti dugaannya setelah melihat Heru tertembak dari
jarak jauh. Sniper. Dan, pelaku lain selain Mortis. Pelaku lain yang mengawasi
gerak-gerik mereka dari kejauhan.
Ezky menoleh kepada Lena dan mencengkram
lengannya. “Kalian berdua tunggu di kelas terdekat. Biar aku pergi memeriksa
apa yang…”
“Enggak!!” Lena memotongnya cepat. “Kau
kira aku akan membiarkanmu pergi sendiri? Dan… dan… bagaimana jika Mortis
menemukan kami atau kau dan melakukan hal yang sama dengan yang ia lakukan
kepada Resta dan Loly?!?” sentaknya, tangannya yang mencengkram lengan baju
Ezky bergetar.
Mendengar bentakan Lena, Ezky mendesah, apa
yang Lena ucapkan ada benarnya. Ia tidak seharusnya meninggalkan mereka berdua
sendirian hanya untuk memuaskan ego-nya bahwa yang ia duga benar. Meskipun,
sempat terpikir olehnya apabila ia berhasil menangkap penembak jarak jauh itu,
ia bisa menarik Mortis keluar.
“Jangan pergi, Ezky…” ucap Lena, tangannya
yang mencengkram lengan baju Ezky sedikit bergetar.
Ketika matanya bertemu dengan mata Lena,
Ezky teringat ketika mereka pertama kali bertemu waktu kecil dahulu. Bagaimana
Lena mengubahnya menjadi dirinya yang sekarang, Lena yang kuat dan ceria, tidak
pernah mau menyerah dan cerdas, yang selalu memberinya kekuatan ketika ia
terpuruk. Tapi, Lena yang saat ini dilihatnya bukanlah Lena yang kuat, ada rasa
cemas dan takut yang menguasai matanya yang biasanya bersinar dengan kehangatan
itu.
Dengan lembut tangan Ezky menyentuh wajah
Lena, “Baiklah, aku mengerti. Sekarang ayo bangun, kita harus terus bergerak,”
ujarnya. Bersama dengan Sinta, ia membantu Lena untuk bangkit berdiri. Ia
sekilas melihat Sinta yang wajahnya memerah dan lengannya sedikit terkepal. Ia
pasti berusaha sekuat tenaga agar tidak terlihat kesal di depan Lena dan
dirinya. Ezky mendesah, berpikir bahwa ia harus melakukan sesuatu terhadap
perasaan Sinta kepadanya.
“Kau sudah siap?” tanya Ezky kepada Lena
dan Sinta yang mengangguk yakin. Ia kemudian mematikan handphone-nya untuk
menghemat baterai. Ia tidak tahu sampai kapan Mortis akan menahan mereka di
sini, akan lebih baik jika ia menghemat energy cahaya sepanjang masih ada
penerangan dari jendela.
Ketika mereka berbelok di ujung lorong
untuk menaiki tangga, tiba-tiba terdengar suara merdu yang memilukan bahkan
cenderung mengerikan hingga gigi Sinta bergemeletuk. Suara itu terdengar
samar-samar, hampir seperti tiupan angin, namun itu jelas suara biola.
“Apakah itu… Ar… Artha?” tanya Sinta.
“Hanya dia yang mampu bermain biola di sekolah ini, kan?”
“Bodoh… Apa yang dia lakukan? Itu sama saja
menunjukkan posisinya kepada Mortis!!” sentak Ezky.
“Sinta…” Lena menggenggam bahu temannya
itu, “Kau tahu di mana letak ruang music? Artha pasti bermain biola di sana,
kan!” Lena mengalihkan pandangannya kepada Ezky, “Kita harus menemukan dia, Ky!
Sebelum Mortis!”
Ezky menatap Sinta lekat-lekat, “Sinta,
jika kau tahu jalannya. Tunjukkan pada kami…”
Wajah Sinta memerah seketika, terlihat
jelas bahkan di tengah-tengah cahaya yang hanya membias samar melalui jendela.
“Iy, iyaa… Aku tahu!” Sinta bangkit dengan semangat dan mulai menaiki tangga.
Langkahnya langsung diikuti oleh Lena dan Ezky. Dalam hati mereka bertiga,
mereka berharap agar mereka sampai tepat waktu sebelum Artha ditemukan oleh
Mortis, sebelum mereka hanya menemukan Artha yang tidak bernyawa.
***
Kondisinya sudah sangat tidak baik,
pandangan matanya mulai mengabur dan keringat mengalir deras di pelipis dan
leher-nya. Untunglah Artha sudah melihat ruang musik yang hanya tinggal
beberapa langkah lagi dari tempatnya sekarang berpijak. Namun, jarak yang hanya
beberapa langkah itu terasa sangat jauh karena kondisinya ini. Andai saja ia
tidak ketergantungan dengan obat itu, ia pasti tidak akan terjebak di sekolah
dengan seseorang yang mengancam nyawanya.
Setelah tertatih-tatih akhirnya Artha
sampai di ruang music. Ia merogoh kantung rok-nya dan mengeluarkan kunci.
Sebagai satu-satunya orang yang sangat rajin berlatih biola di ruang music itu,
Artha diberikan kepercayaan oleh guru kesenian untuk memegang kunci cadangan
ruang music. Begitu ruangan itu terbuka, Artha melihat sekeliling, tampaknya
cukup aman. Ia kemudian mengunci ruang musik itu dari dalam, berjaga-jaga agak
orang yang menyebut dirinya Mortis itu tidak tiba-tiba mendobrak masuk hanya
karena kelalaiannya yang sepele.
Setelah memastikan dirinya aman, Artha
cepat-cepat mencari botol kecil berisi obat itu. Pertama-tama ia mencari di
lemari berisi biola yang biasa dimainkannya, namun tidak ada. Ia lalu mencari
di bawah piano, di sela-sela lemari, di bawah meja, namun hasilnya nihil. Ia
tidak dapat menemukan obat itu. Ia duduk bersandar di dinding dengan lemas,
memeluk lututnya dan mulai terisak. “Mati… aku akan mati…” isaknya kepada
dirinya sendiri.
Bayangan dirinya selama hidup mulai merasuk
masuk ke dalam pikirannya. Puja-puji orang tua-nya karena kecerdasan dirinya,
tatapan kagum semua orang. Artha tersenyum mengingatnya. Tetapi, kenangan itu
segera berhenti menjadi kenangan yang menyakitkan ketika orang tua-nya mulai
memandang rendah dirinya karena nilainya yang menurun ketika ia masuk SMA, para
guru yang tadinya menaruh harapan padanya mulai memandangnya sebelah mata.
Air mata mulai menetes di pipi-nya. Apa
semua hal yang ia lakukan sampai sekarang tidak cukup? Apa waktu belajarnya
kurang hingga ia hanya mendapatkan juara 2 di sekolah? Dan, saat itulah botol
kecil itu membuat semuanya menjadi ringan. Memberikannya kebahagiaan meskipun
ia tahu itu hanya kebahagiaan semu.
Ia melihat jari-jarinya yang bergetar,
beberapa di antaranya sudah mati rasa bahkan membiru. Pandangannya tambah
mengabur, putih matanya sudah mulai memerah dan membengkak. Seluruh badannya
mulai terasa dingin dan rasa mual mulai menjalari tubuhnya. Rasa sakit yang ia
rasakan mulai tak tertahankan. Tidak hanya mendera tubuhnya, namun juga
pikirannya. Ia harus mengenyahkan rasa sakit ini.
Lalu dengan pandangan mengabur ia melihat
biola di depannya dan melihat laci meja. Dengan seluruh kekuatannya ia berdiri
dan meraih laci meja itu. Cepat-cepat ia membukanya dan dalam seketika
menemukan benda yang dicarinya.
Cutter. Ini akan menghentikan
penderitaannya. Ini adalah satu-satunya jalan. Ia tidak akan membiarkan dirinya
dibunuh oleh Mortis dalam keadaan seperti ini.
“Mortis… kau tidak akan kubiarkan memiliki
jiwa-ku…”
Ia mengarahkan cutter itu ke pergelangan
tangannya dan menusukkannya berkali-kali. Tusukan pertama sangat bertenaga
hingga darah memercik ke wajahnya. Sesekali ia membuat gerakkan mengiris dan
sesekali gerakan menghujam hingga darah menetes deras dari pergelangan
tangannya. Ia lalu beralih ke tangan kanannya dan melakukan gerakan yang sama. Ketika
ia berhenti pergelangan tangan itu penuh lubang dan irisan yang menganga. Artha
tersenyum ketika darah merah itu melumuri tangannya. Kali ini rasa sakit itu
Senyum lebar menghiasi wajahnya ketika ia
menoleh ke arah biola. Dengan langkah lunglai ia berjalan menggapai biola itu,
darah mulai mengucur deras dari pergelangan tangannya yang sudah hancur. Ia
mengangkat biola itu dan menempelkannya ke dagu. “Permainan terakhir… Sebelum
kematianku…”
Nada-nada mulai mengalun dari gesekan biola
Artha, mengiringi rasa sakitnya yang terus berdenyut dan menjangkit ke seluruh
tubuhnya. Ia terduduk di lantai, tangannya masih terus memainkan biola meski penggeseknya
kini sudah berlumuran darah. Wajah Artha-pun tetap tersenyum meski bibirnya
sudah putih memucat.
Kakinya yang melemah membuatnya tersungkur
jatuh tapi ia tetap memainkan biolanya. Nada-nada yang mengalun terdengar lebih
syahdu, lebih menyayat dan menyedihkan. Artha seolah-olah meletakkan seluruh
perasaan dan rasa sakitnya di dalam setiap gesekkan biola itu.
Matanya kian terpejam seiring dengan
gesekan biola-nya yang mulai melemah. Saat itulah ia mendengar suara langkah
perlahan dan langkah itu berhenti di depan pintu ruang musik. Artha hanya
mendenguskan nafas, ia terlalu lemah bahkan untuk membuka matanya. Apabila itu
Mortis, pembunuh itu tidak mungkin masuk ke dalam ruangan ini karena ia sudah
menguncinya. Sekilas seringai puas menghiasi wajahnya yang kini sudah basah
oleh peluh.
Ia akan aman di sini… akan aman menjemput
kematiannya.
Namun, nafas tersengal Artha tertahan
ketika tiba-tiba Mortis berhasil membuka kunci. pintu ruang musik. Refleks akan
bahaya, Artha berusaha menggerakkan tubuhnya, tangannya menggapai-gapai lemah
di atas genangan darah.
Ternyata, pintu itu hanya terbuka sedikit,
memberi celah kecil kepada tangan bersarung tangan hitam untuk menyelinap dan
meletakkan sesuatu. Lalu pintu itu kembali menutup. Mata Artha yang tadinya
sudah gelap kembali bercahaya ketika menyadari tangan bersarung tangan hitam
itu meletakkan botol kecil yang sedari tadi ia cari. Botol kecil penyelamat
kebahagiaannya.
Adrenalin Artha memacu tubuhnya yang
kesakitan untuk menggapai botol kecil itu. Ia menyeret tubuhnya hingga
menghasilkan jejak darah di lantai. Namun, seberusaha apapun ia untuk bergerak,
rasa sakit yang luar biasa menjalari tubuhnya. Ia bagaikan ditusuk oleh seribu
jarum yang perlahan menghancurkan jantungnya. Ia menjulurkan tangannya dengan
tenaganya yang tersisa kea rah botol kecil itu. Tetapi, sesuatu
menghentikannya. Sesuatu yang sama yang membuat detak jantungnya berhenti dan
paru-parunya berhenti bekerja.
Beberapa derap kaki yang berlari terdengar
dari lorong di luar ruang musik. Mereka berhenti di depan ruang musik dan
dengan tergesa-gesa membuka pintunya. “Artha!!” Terdengar bunyi berdenting
ringan ketika pintu terbelalak membuka. Ezky, Lena dan Sinta melangkah masuk.
Sinta langsung terkesiap ketika melihat Artha tergeletak lemas dan
bergelimangan darah tepat di depan matanya.
“Kyaaaaa!!!!” spontan Sinta berteriak,
namun dengan segera Lena menutup mulutnya. Air mata deras mengalir dari mata
Sinta.
“Jangan teriak… Mortis pasti masih ada di
dekat sini…” bisik Lena. Ia melihat jasad Artha sekilas dan langsung
mengalihkan pandangan matanya.
“Aku rasa ini bukan perbuatan Mortis…” ujar
Ezky tiba-tiba, tatapannya memandang lurus ke luka-luka di kedua pergelangan
tangan Lena. Ia melirik Lena yang balas melihatnya dengan raut wajah
bertanya-tanya, “Tampaknya Artha menyakiti dirinya sendiri hingga tewas.” Ezky
berjalan mundur ketika tiba-tiba ujung kakinya menyentuh sesuatu yang
berdenting. Ezky menunduk untuk mengambil sebuah botol kecil. Di botol kecil itu
ia melihat nama Artha tertera di sana. Dari deskripsi-nya, Ezky tahu itu adalah
obat penghilang rasa sakit. Ketika beberapa pertanyaan muncul di kepala-nya,
tiba-tiba terdengar suara berderak.
Ternyata suara itu datang dari
langit-langit. Rupanya ruang musik adalah ruang yang luput dari modernisasi
sekolah sehingga masih menggunakan system projector yang lama. Tidak ada layar
putih kali ini karena projector itu langsung memproyeksikan gambar di papan
tulis kelabu berwarna hijau. Dengan hanya Artha yang menggunakan ruang musik,
wajar jika kepala sekolah mengabaikan modernisasi ruangan terpencil ini.
Ketika projector diturunkan, seperti yang
ia lakukan kepada jasad Loly dan Resta, Lena menarik kain penutup piano,
mengibaskannya dan menutupi jasad Artha dengan kain berdebu itu. Tidak ada air
mata yang menetes di pipinya padahal ia tahu dirinya sedang berduka. Entahlah,
mungkin air mata-nya hanya kering. Lagipula kemarahan yang saat ini
dirasakannya melebihi rasa sedihnya. Ia marah kepada dirinya sendiri karena ia
tidak bisa melakukan apa-apa untuk menyelamatkan teman-temannya. Sudah 4 orang
dan yang bisa ia lakukan hanya melarikan diri dan terdiam ketika teman-temannya
menghadapi ajal mereka.
Kaki Lena melemah dan ia terduduk,
menyenderkan punggungnya di tembok yang dingin. Perlahan Sinta berjalan ke
arahnya dan duduk di sampingnya. Pandangan Lena mengarah ke Ezky yang berdiri
menatap layar kosong yang mulai disinari proyektor. Dan, seperti itu adalah
rutinitasnya, Lena menatap lauar dengan pandangan kosong.
Seperti video-video sebelumnya, layar
menunjukkan tulisan nama “ARTHA” dengan warna merah darah. Sebuah video yang
lagi-lagi terlihat seperti diambil diam-diam namun dengan kualitas yang sangat
baik kembali dimainkan. Pertama-tama terlihat Artha yang sedang membaca buku
pelajaran di kelas, lalu ia memelototi Limper yang bertingkah konyol di kelas.
Ketika pelajaran dimulai seorang guru memujinya karena berhasil mendapat nilai
terbaik untuk kelas 2 SMA di sekolah mereka dan juga menjadi juara kompetisi
biola di luar negeri beberapa hari yang lalu. Video kemudian beralih kepada
gambar Artha yang sedang berlatih biola sendirian di ruang musik, wajahnya
terlihat sangat ceria dan menikmati kegiatannya.
Kemudian warna film yang tadinya terang
berubah menjadi coklat suram ketika video menunjukkan kehidupan Artha di
rumahnya. Bentakan orang tua-nya yang merasa jijik karena Artha tidak menjadi
juara umum dan hanya menjadi juara untuk kelas 2 di sekolah-nya terdengar
nyaring dan menyakitkan. Terlihat Artha yang meremas-remas jarinya dan
menggigit bibirnya. Namun, pandangan matanya yang tertuju ke lantai tetap
kosong. Tampaknya bentakan dan amarah itu adalah makanan sehari-hari bagi
telinganya.
Kamera kemudian mengikuti Artha menuju ke
kamarnya dengan langkah lunglai. Begitu sampai di kamar, ia tersungkur di balik
pintu, pandangan matanya masih tetap kosong. Artha kemudian merangkak perlahan
menuju kolong tempat tidurnya. Ia membuka sebuah kotak dan mengeluarkan botol
kecil yang terbuat dari kaca. Botol yang persis ada di genggaman tangan Ezky
sekarang.
Artha membuka botol kecil yang berdenting
itu dan menenggak beberapa pil yang ada di dalamnya. Kemudian, ia mengeluarkan
satu benda lagi. Cutter. Masih dengan pandangan kosong, Artha member irisan
tipis cutter di lengan sebelah kirinya yang ternyata banyak terdapat bekas
luka, bukti bahwa Artha telah melakukan itu berkali-kali. Begitu darah
merembes, Artha tersenyum, pandangannya yang tadi tampak kosong menjadi
berbinar. Artha menjatuhkan kepalanya di ranjang dan tangannya yang berdarah
diletakkannya di lantai. Ia tersenyum, tersenyum bagaikan semua beban yang ada
di pundaknya terangkat dengan rasa sakit yang ia rasakan. Rasa sakit yang
perlahan memudar dan dapat ia nikmati karena pil-pil ajaib yang ia konsumsi. Ia
merasa tenang, damai dan… video berakhir.
Ruang musik hening, yang terdengar hanya
desahan nafas mereka bertiga. Ezky menghampiri Lena dan Sinta yang masih
terduduk lemas menyender di dinding. “Kalian berdua tidak apa-apa?” tanyanya
dengan suara lemah, pertanyaan yang sebenarnya ia tahu jawabannya.
Lena menatap Ezky dengan mata berkaca-kaca,
ia memegang erat tangan Sinta. “Kenapa? Kenapa Mortis harus melakukan ini
kepada kita semua? Kenapa?!?” Lena meninggikan suaranya.
“Aku tidak tahu, Lena!” Ezky menangkup
wajah Lena dengan kedua tangannya. “Apapun alasannya, yang aku tahu kita harus
bertahan hidup…” bisiknya lemah.
“Aku tahu Loly dan Resta mungkin pantas
dibunuh karena perbuatan mereka atas anak-anak yang mereka bully. Tapi, Artha?
Meskipun ia sombong dan tidak punya teman, ia tidak pernah menyakiti siapapun…”
gumam Sinta lemah.
Ezky dan Lena melihat Sinta bersamaan.
Mereka saling bertatapan sebelum akhirnya Lena berbicara, “Aku tidak tahu
alasannya, tapi semestinya kau tidak berkata Loly dan Resta pantas mendapatkan
semua ini, Sinta. Tidak ada orang yang pantas mati…”
“Lagipula Artha tidak dibunuh oleh Mortis.
Ia bunuh diri…” ucap Ezky yang serentak membuat Lena dan Sinta membelalakkan
matanya. “Aku tadi melihat sekilas irisan-irisan di pergelangan tangannya.
Lalu, ada cutter berlumuran darah di sebelah sana. Dan, video itu menguatkan
dugaanku…”
Lena terdiam sejenak, terlihat memikirkan
dugaan Ezky. “Tapi, jika begitu… Apa itu berarti Mortis sudah memperkirakan
Artha akan bunuh diri apabila dihadapkan dengan kondisi seperti ini?”
“Entahlah… Tapi, jika memang benar
demikian, itu berarti Mortis adalah seorang yang sangat cerdas hingga bisa
memperkirakan apa yang akan dilakukan korbannya…” ucap Ezky, sedikit ragu
karena asumsinya berasal dari terlalu banyak membaca cerita misteri.
Dilihatnya lagi jasad Artha yang telah
ditutupi oleh kain berdebu, kemudian Lena memandang Ezky dan Sinta bergantian,
“Apapun yang terjadi kita harus mencegah pembunuhan selanjutnya dan keluar dari
sini!” Matanya penuh tekad saat mengatakan hal tersebut.
“Kita… kita… tidak mungkin bisa
melawannya…” ujar Sinta takut-takut.
“Kalau begitu, kita harus berpikir lebih
cerdas darinya!” seru Lena dalam ketegasan meskipun ia berbisik. “Dan, untuk
itu kita perlu Limper. Kita harus mencari Limper sebelum Mortis menemukannya
dan membunuhnya…”
Hening sejenak, Lena dan Ezky saling
bertatapan, dalam diam Ezky bisa mengerti maksud Lena, “Ya, kita harus temukan
Limper. Dia mungkin sekarang ada di laboratorium komputer, itu keahliannya…”
Senyum tipis menghiasi wajah Lena dan ia
mengangguk yakin. Lalu, mereka bertiga melangkah keluar dari ruang musik.
Membawa keyakinan baru bahwa nyawa mereka bisa diselamatkan dengan bantuan dari
Limper.
***
Di
sudut yang gelap, Mortis tersenyum lebar hingga ia yakin bibirnya akan robek
jika ia terus melakukannya. Mendengarkan percakapan ketiga orang itu membuatnya
sumringah karena mereka mengakui kecerdasannya. Mungkin rencana ini bukan hasil
kerja otak-nya, tetapi ia tetap bangga karena telah melaksanakan rencana itu
tanpa cela. Orang-orang itu, orang-orang yang membantunya ini, benar-benar
telah memberikannya kesempatan balas dendam yang, seperti kata mereka, indah
dan menyenangkan.
Sekarang mereka bertiga akan bergerak menuju Limper.
Kebetulan, itulah tempat pertunjukkan selanjutnya, tempat pertunjukkan yang
akan dihias dengan ledakan indah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar