Dear Readers,
Due to some circumstances, I move this story to Wattpad.
Please find me on Wattpad by username FeKimi
There will be no update of Merchants of Death in this blogspot anymore.
And, if the story got its place on Wattpad, I will shutdown this blogspot permanently.
Apologize for this inconvenience
I hope you can follow me on Wattpad
Thank You
Best,
FeKimi
Merchants of Death
Rabu, 22 Juli 2015
Kamis, 11 Desember 2014
Winter Hiatus
Dear Readers,
Dengan ini saya sampaikan bahwa Merchants of Death : School Game akan hiatus selama beberapa minggu.
Rencananya saya akan memposting chapter berikutnya pada pertengahan bulan Januari atau ketika saya sudah sembuh dari writer block, whichever is earlier.
Sekali lagi, untuk silent reader, saya tunggu kritik dan sarannya
Terima Kasih
Dengan ini saya sampaikan bahwa Merchants of Death : School Game akan hiatus selama beberapa minggu.
Rencananya saya akan memposting chapter berikutnya pada pertengahan bulan Januari atau ketika saya sudah sembuh dari writer block, whichever is earlier.
Sekali lagi, untuk silent reader, saya tunggu kritik dan sarannya
Terima Kasih
School Game : Chapter 6
Burst
Dalam kegelapan Gaby meringkuk, menempelkan
lututnya ke dadanya dan memencet-mencet tombol di telepon genggamnya. Ia
berusaha mencari sinyal, tapi hasilnya nihil hingga akhirnya ia membanting
telepon genggam itu dengan rasa frustasi yang memuncak. Gaby menyisir rambut
panjangnya dengan tangan lalu menempelkan keningnya di lutut-nya. Ketika ia
memejamkan mata, masih terbayang mayat Loly dan Resta yang terbaring penuh
darah. Ia menggigit bibirnya dan bergidik jijik.
Pikirannya menerawang ketika ia menendang
mayat Resta yang dianggapnya sudah membohongi dan menipunya. Namun, ia juga tak
bisa menampikkan fakta bahwa Artha adalah minion-nya yang terbaik, yang selalu
menuruti kemauannya tanpa mengeluh meskipun ia kesal setengah mati. Lalu ada
Loly, yang manis dan bodoh, yang ia rekrut hanya agar Loly tidak lebih popular
dari dirinya.
Mengingat mereka berdua sekarang sudah tak
bernyawa, suatu perasaan aneh terbersit di dirinya. Terasa dingin dan sedikit
menyakitkan. Gaby memejamkan matanya dan menggidikkan kepalanya. Mengapa ia
menjadi melankolis seperti ini? Bukankah minion-minion bodoh seperti mereka
bisa tergantikan oleh siapa saja? Sudah banyak gadis-gadis yang mengantri untuk
posisi mereka!
Cahaya percaya diri di mata Gaby kembali
bersinar. Dari dulu ia tahu dirinya kuat dan ia mampu membuat semua orang
tunduk padanya. Tidak ada pengecualian. Mortis juga harus demikian. Ia akan
membuat bocah iseng yang kejam itu menyesal telah mengajaknya ke permainan ini.
Dengan langkah yakin, Gaby kemudian
berlari. Jika ia akan melawan Mortis, ia harus mencari senjata atau apapun yang
bisa dijadikan senjata. Ia akan membunuh Mortis sebelum bajingan itu
membunuhnya. Dalam pikiran itu, Gaby berlari dengan senyuman lebar.
***
Selasa, 25 November 2014
School Game : Interlude III
Interlude: ARTHA
Dunia sudah berubah di mata Artha. Dahulu
semuanya berwarna-warni seperti pelangi, penuh senyuman dan pujian bangga dari
orang-orang di sekelilingnya. Namun, sekarang senyuman itu berganti dengan alis
merengut dan pujian berganti dengan cacian. Orang tuanya memandang dengan sinis
dan bahkan kakaknya mengatakan semua usahanya kurang. Hanya karena prestasinya
di SMA ini menurun, hanya karena ia bukan juara umum di SMA ini.
Lama-lama beban yang disampirkan di
pundaknya terasa berat untuk ia pikul. Rasa sakit itu semakin membesar dari
hari ke hari dan bahkan membuatnya malas untuk pulang ke rumah. Bahkan
menginjak keset di depan pintu depan rumah terasa menjijikkan dan berlendir.
Untunglah ia mempunyai biola-nya, yang alunan merdu-nya dapat menyejukkan
hatinya, membuatnya melupakan caci maki itu.
Artha mengenal biola semenjak kecil.
Seorang paman yang ramah dengan senyum menawan memberikannya sebagai hadiah
ketika ia menjadi anak baik untuknya. Ia masih ingat bagaimana paman itu
membelainya dan mengecupnya lembut sebelum paman itu memberikan biola itu
kepadanya. Dan, setiap paman itu selesai mengelus seluruh tubuhnya, paman itu
akan mengajarkannya cara bermain biola. Semenjak itulah biola itu menjadi
sahabatnya.
Selasa, 11 November 2014
School Game : Chapter 5
Wound
Dengan cell phone di tangannya untuk
menyinari jalan, Ezky berjalan perlahan-lahan, diikuti oleh Lena dan Sinta yang
berjalan mengikutinya dari belakang. Sesekali Ezky menyinari jendela agar ia
tahu ada apa di luar, yang masih tetap sama setiap kali ia mengarahkan cahaya
dari cell phone-nya. Di luar hanya ada lapangan basket kosong yang sunyi, tidak
terlihat apapun yang bergerak. Jika memang pembunuh itu dapat menembak mereka
apabila mereka mencoba keluar maka semestinya pembunuh itu akan mengawasi dari
luar. Namun, tidak ada tanda-tanda kehidupan di luar sekolah.
Tanpa terasa jam sudah menunjukkan pukul 9
malam, sudah berlalu lebih dari 2 jam setelah Mortis menyatakan permainan
keji-nya ini telah dimulai. Hal yang disadari Sinta sedikit menguntungkan
karena mungkin orang tua-nya akan mulai mencarinya. “Iya, kan? Jika orang
tua-ku menyadari aku belum pulang, mereka mungkin akan mulai mencariku. Dan,
kita bisa selamat dari perangkap ini!” serunya dengan senyum riang yang
dibuat-buat.
Ezky dan Lena saling bertatapan, lalu Lena
berkata, “Aku kagumi semangatmu, tapi semestinya kau berharap orang tua-mu
tidak akan kemari untuk mencarimu.” Ada jeda beberapa detik sebelum ia
melanjutkan, “Aku takut jika orang tua-mu kemari Mortis juga akan membunuh
mereka. Menimbang apa yang baru saja terjadi dengan Resta dan Loly, kita tidak
tahu apa yang akan dilakukannya.” Lena menatap Sinta dengan sorot mata sedih
sementara mata Sinta mulai berkaca-kaca.
Langganan:
Postingan (Atom)