Past
Wajahnya yang cantik, rambutnya yang indah
dan badannya yang sempurna membuat Gaby menjadi gadis paling populer satu
sekolah. Semua pria ingin menjadi kekasihnya dan semua gadis ingin menjadi
temannya. Dengan itu, Gaby merasa dirinya berkuasa, tak akan ada yang sanggup
menolak permintaannya. Lagipula, pikirnya, siapa yang butuh teman jika ia punya
dua pesuruh yang sempurna, yang menuruti semua permintaan dan perintahnya.
Ia pertama kali bertemu Resta saat
penerimaan murid baru. Resta terlihat seperti putri yang angkuh, persis seperti
dirinya, namun tentu saja ia sama sekali tidak dapat menandingi kecantikannya. Resta
tergagap ketika pertama kali Gaby menyapanya, menyalami tangan Gaby dengan
sikap hormat berlebihan yang tidak terasa tulus.
Tapi, Gaby menyukai itu. Ia tidak keberatan
dengan sikap pura-pura, ia tidak perlu ketulusan, ia hanya perlu orang yang
menuruti perintahnya. Dan, pengamatannya ternyata tepat, Resta langung patuh
padanya begitu ia menawari uang dan kemewahan. Ternyata dari lagaknya saja
Resta orang kaya namun ternyata ia sangat miskin. Lihat, kan? Siapa yang butuh
pertemanan tulus ketika kau mendapat banyak keuntungan hanya dari gengsi dan
kepura-puraan? Toh, Gaby juga sudah memberi Resta status sebagai anak popular
di sekolah karena berteman dengannya.
Kemudian ada Loly, gadis lugu dan manis,
persis seperti gadis-gadis di idol group. Loly juga cukup ramah dan suka
tersenyum kepada setiap pria yang mendekatinya. Dan, Gaby melihat itu sebagai
ancaman. Oleh karena itu, Gaby harus menjadikannya sekutu yang tunduk
kepadanya. Hal ini ternyata cukup mudah karena Resta menyadari beberapa lebam
di lengan Loly, belum lagi memar merah di pipinya yang berhasil ditutupinya
dengan make-up. Singkat kata, Loly butuh perlindungan dan seseorang tempatnya
berbagi. Resta menjalankan peran itu dengan baik, menjadi kakak yang perhatian.
Sampai akhirnya, Loly terbujuk menjadi pesuruhnya. Namun berbeda dengan Resta
yang Gaby tahu tidak tulus, sikap Loly kepadanya cukup tulus. Ia tunduk dan
sangat patuh.
Gaby tersenyum lebar ketika ia berjalan di
lorong sekolah dengan diikuti oleh dua pengikutnya yang paling setia. Itu
menunjukkan bahwa ia punya kuasa dan popular, membuat semua orang
memperhatikannya. Ditambah dengan melakukan penyiksaan terhadap Heru, yang
tidak dapat dipungkiri adalah pecundang nomor 1 di sekolah, menekankan
kenyataan bahwa tidak akan ada orang yang berani melawannya. Ia adalah Ratu di
sekolah ini dan bersama dengan Resta dan Loly, ia tidak terkalahkan.
Meskipun demikian, Gaby meyakinkan dirinya
untuk tidak terikat dengan Resta dan Loly, toh mereka bisa dibuang kapan saja.
Sekali saja mereka tidak melakukan apa yang ia minta, Gaby akan membuangnya.
Masih banyak gadis yang ingin menggantikan posisi mereka. Gaby merasa kalau ia
terikat akan sesuatu berarti ia lemah dan ia tidak mau menjadi lemah.
Namun, ketika melihat dan menyadari bahwa
dua tubuh yang terbujur kaku dan bersimbah darah di depannya adalah Resta dan
Loly, Gaby seketika merasa lemah. Ia tidak punya kekuatan bahkan untuk berdiri
hingga ia terduduk lemas di lantai. Nafasnya tersengal, mulutnya menganga, ia
ingin berteriak, ingin meraung, ingin memukuli sesuatu, tapi tubuhnya membeku
tidak bergerak. Bibirnya bergerak-gerak, tapi tak ada suara yang keluar. Dalam
pikirannya, ia tahu ia harus cepat bangkit, mengibaskan rambutnya dan pergi
dari tempat itu dengan kepala terangkat, tapi ia tidak bisa, rasa-rasanya ada
satu sarafnya yang putus yang membuatnya tidak bisa bergerak.
Deruan proyektor-lah yang kemudian
membuatnya kembali ke kesadarannya. Ia menengok perlahan-lahan, matanya
terbelalak ketika melihat nama “RESTA” berwarna merah darah di layar. Sekarang
apalagi yang direkam oleh si brengsek itu?!? Belum cukupkah hanya dengan
membunuh Loly dan Resta?!? Gaby menggeram dengan gigi bergemeletuk.
Layar kemudian memperlihatkan wajah-wajah
Resta yang tertawa ketika bersenang-senang di club bersama Gaby dan Loly. Atau,
ketika ia dengan angkuh menampar seorang adik kelas. Melayani Gaby dengan
mengambilkan apa saja yang diperintahkan olehnya. Resta memang dikenal sebagai gadis
galak yang paling setia dengan mengikuti kemanapun Gaby pergi. Akan tetapi,
kesan itu menghilang seketika ketika warna di layar berubah suram. Si pengambil
gambar terlihat mengikuti Resta ke sebuah hotel mewah. Ia naik ke lantai suite
room dan menuju ke sebuah kamar. Ketika kamar itu terbuka keluarlah pria
setengah baya yang memberinya ciuman di bibir dan menggerayangi paha Resta.
Kemudian Resta ditarik masuk kamar itu.
“Pelacur bangsat!!” Gaby merangkak ke tubuh
Resta dan dengan tersengal-sengal menarik tubuh Resta dan membantingnya,
membuat perut Resta yang berlubang menumpahkan isinya. “Berani-beraninya kau!!”
Gaby bangkit dan menendang-nendang tubuh Resta.
Ternyata film tentang Resta tidak berhenti
sampai di situ. Setelah keluar dari hotel, Resta pergi ke sebuah bar kumuh dan
di sana ia bekerja sebagai pelayan hingga jam 12 malam sebagaimana ditunjukkan
oleh jam kamera yang tertera di layar. Kamera kemudian mengikutinya pulang,
yang mana tidak terlalu sulit karena Resta pulang dengan berjalan kaki. Gaby
terkesiap ketika melihat rumah Resta yang kumuh dan reyot. Ketika Resta
memasuki rumahnya, layar menjadi hitam dan proyektor kembali bekerja.
Semuanya terdiam dan menatap Gaby, mencoba
sebisa mungkin agar tidak melihat tubuh mengenaskan Resta yang tergeletak di
lantai. Gaby yang menyadari tatapan orang-orang itu kemudian tersenyum dan
berkata dengan sinis, “Dia seorang pelacur dan penipu!!” Ia kemudian menendang
mayat Resta lagi. “Ia pantas mati! Ia menjijikkan!!” serunya dengan wajah puas.
Kemudian ia tertawa terbahak-bahak, hingga menggema ke lorong-lorong.
Saat itulah kembali terdengar suara alarm
yang melengking tinggi dan suara Mortis yang memekik kembali terdengar dengan
sangat mengganggu. “Hihihi… Hihihi… Hahaha!! Kematian yang indah bukan!!”
serunya lantang. “Dari atas sini mereka terlihat seperti bunga bangkai yang
sedang mekar!!”
“Diam kau, Mortis!!” seru Bobby dengan
takut-takut. Setelah itu, ia cepat-cepat menghampiri Gaby yang masih
menendang-nendang mayat Resta. “Hey,
sayang. Tenanglah… Meski itu mayat, itu tetaplah Resta…”
Dengan kasar dan penuh emosi, Gaby
mendorong Bobby menjauh, “Aku tidak peduli!! Dia pelacur murahan yang lebih
rendah dari lintah!!” bentaknya lalu meludah ke atas mata Resta yang tertusuk
dan sekarang telah mengeluarkan nanah berwarna kekuningan.
“Hihihi… Bukankah kau sama saja?” suara
Mortis melengking tinggi ketika mengatakannya.
Ucapan itu membuat Gaby emosi dan
melemparkan salah satu gelas kimia yang berada paling dekat dengannya ke
speaker hingga gelas itu pecah berkeping-keping. Tanpa mempedulikan semua yang
berada di situ sedang memandangnya dengan pandangan takut dan cemas, ia pergi
meninggalkan laboratorium kimia. Kepergiannya diiringi dengan suara Mortis yang
terkikik di speaker.
Bobby yang tadinya hanya bisa terdiam
karena kakinya terasa lemas, akhirnya mengikuti langkah Gaby. Tapi, sepertinya
ia terlambat karena Gaby telah menghilang di ujung lorong. Teriakan Bobby yang
meneriakkan nama kekasihnya itu menggema di kegelapan.
Setelahnya suara Mortis tidak terdengar
lagi. Lorong kembali sunyi, meninggalkan Ezky, Lena dan Sinta yang berdiri
terdiam.
Lena menatap kedua tubuh berlimang darah
yang tergelapar di lantai dingin. Rasa-rasanya isi perutnya mulai naik karena
melihat pemandangan itu. Lalu, dengan segenap kekuatannya ia melepaskan diri
dari pelukan Ezky dan berjalan tertatih-tatih ke salah satu lemari penyimpanan.
Di lemari itulah ia tahu guru kimia mereka suka menyimpan jas laboratorium yang
berwarna putih. Ia menemukan beberapa dan di antaranya sudah sangat berdebu,
usang berwarna kekuningan, lalu ia mengambil 2 di antaranya.
Menyadari apa yang akan diperbuat oleh
Lena, Sinta datang menghampirinya. “Aku akan menutupi tubuh Loly,” ucapnya
sambil mengambil jas itu. Lena mengiyakan dengan mengangguk lemah.
Dengan hati-hati Lena menghampiri tubuh
Resta, menutupinya dengan kain putih yang seketika langsung berbercak merah.
Dilihatnya Sinta yang menutupi tubuh Loly sambil mengalihkan pandangannya
dengan meringis. Kemudian dilihatnya Ezky, sedikit buram karena ia sadar air
matanya sudah tergenang di pelupuk matanya.
“Ayo kita cari Limper. Semoga ia sudah
menemukan sesuatu…” ujar Ezky lemah.
Sambil menyeka air mata-nya, Lena berjalan
bersama Sinta keluar dari laboratorium kimia itu. Entah sampai kapan mereka
harus seperti ini, terkurung tanpa daya seperti ini, yang jelas permainan ini
belum berakhir.
***
Menelusuri lorong gelap dengan cahaya dari
handphone-nya, Limper berhati-hati agar tidak mendekati jendela. Ia tidak ingin
mati dengan mengenaskan dan penuh kebodohan seperti Heru. Meskipun ada indikasi
bahwa kematian Heru hanyalah gertakan dari Mortis agar tidak ada seorangpun
yang mencoba keluar dari jendela, tetap saja ia tidak mau menempuh resiko.
Setelah berjalan cukup jauh dari tempat awal-nya akhirnya ia menemukan ruangan
yang ia cari. Ruang Komputer.
Limper berdiri di depannya dan menarik
nafas beberapa kali. Dia sudah sering menonton film-film jenis horror slasher
dimana yang sang pembunuh selalu lebih pintar dua sampai tiga langkah dari
mangsanya. Mungkin saja ia sudah memprediksikan langkah Limper untuk datang ke
ruang komputer. Meski dilihat dari caranya menangani Heru, Mortis ini pastilah
tidak lebih pintar dari Jigsaw, tetapi ia mungkin lebih sakit jiwa daripada
pembunuh di film “Saw” itu.
Cepat-cepat ia membuka pintu ruang komputer
dan langsung memasang sikap waspada. Namun, hening. Tidak terjadi apa-apa. Ia
menelan ludah dan memandang sekeliling dengan diterangi cahaya handphone-nya.
Setelah yakin tidak ada ancaman apapun, ia melangkah ke salah satu komputer, ia
memilih komputer yang selalu ia pakai ketika pelajaran. Sedikit berisiko memang
karena mungkin ini adalah salah satu jebakan Mortis, tapi akan menghemat waktu
karena ia tidak perlu lagi mengunduh software-software yang diperlukannya.
Dengungan komputer yang menyala memecah
kesunyian. Ia mengeluarkan laptop-nya dari dalam tas dan menghubungkannya
dengan komputer itu. Limper mulai melemaskan jari-jarinya. Ia siap-siap bekerja
ketika samar-samar terdengar suara tembakan. Lagi-lagi ia menelan ludah dan
kembali waspada.
“Sialan! Brengsek! Siapa kali ini?!?”
umpatnya. Dia masih terus waspada dan mengawasi pintu dan jendela meskipun
pandangannya terbatas.
Kembali hening, tidak terjadi apa-apa.
Limper menghela nafas lega dan kembali
duduk di depan layar komputer yang sudah dalam posisi siap. Ia lalu menekan
beberapa tombol, berkonsentrasi penuh memasukkan beberapa formula hingga layar
dipenuhi angka-angka dan huruf-huruf yang bergerak cepat. Ia menghisap rokoknya
yang tipis dan kurus itu, kakinya bergoyang-goyang tidak sabar.
“Ayo… Ayo beri aku koneksi…” desisnya,
matanya terus menatap layar.
Kemudian perhatiannya teralih ketika
proyektor yang ada di langit-langit keluar dari tempat penyimpanannya dan
menyala secara otomatis. Layar yang berada tepat di depan proyektor itu juga
tiba-tiba terkembang. Limper kaget setengah mati hingga ia hampir jatuh dari
kursinya. Nafasnya memburu dan ia kembali waspada, memandang pintu dan
jendela-jendela secara bergantian.
Dan, ketika ia melihat nama Loly yang ditulis
dengan huruf merah muncul di layar proyektor, tangannya mengepal. Tanpa
mempedulikan sekelilingnya, ia kembali ke kursi, tangannya bergerak cepat dan
lincah di atas keyboard. Korban berikutnya sudah jatuh. Bukan saatnya lagi
untuk main-main.
***
Jari-jarinya bergetar hebat ketika ia
terjatuh di sudut lorong. Kakinya yang lemas, yang sedari tadi ia tahan, kini
benar-benar tidak dapat menopang tubuhnya. Ia menutup mulutnya, menahan agar
teriakkan tidak terlepas dari tenggorokkannya. Atau, pembunuh gila itu akan
menemukannya. Air mata mulai mengalir dari pelupuk matanya, membasahi pipinya
yang dingin. Kepalanya sakit, terasa seperti dipukul oleh 100 palu.
Artha menengadah, melihat langit-langit,
tatapannya menerawang. Ia melihat ke kiri dan kanannya yang hanya berujung
lorong gelap. Samar-samar ia mendengar suara langkah yang berderap-derap
menuruni tangga. Itu pasti Ezky dan Lena beserta Sinta yang menguntit. Haruskah
ia mengikuti mereka? Setidaknya mereka punya Ezky yang bisa melindungi mereka
bukan?
Tidak.
Ia tidak bisa mengikuti mereka. Bagaimana
kalau salah satu dari mereka adalah pembunuh itu? Tidak. Tidak. Tidak.
Ia tidak bisa percaya dengan siapapun. Ia
hanya bisa percaya dengan dirinya sendiri saat ini. Ya. Hanya dirinya.
Tertatih-tatih ia mencoba berdiri.
Tangannya mencengkram erat tembok sebagai penopang dirinya. Artha berjalan
perlahan dengan kaki terseret. Kembali matanya menerawang, mencoba menentukan
arah mana yang harus ia tuju.
Ruang musik. Ia harus ke ruang musik. Ia
akan aman di sana bersama dengan biola-nya. Ya. Ya. Ya. Ia harus ke…
Tidak. Tidak. Tidak.
Pembunuh itu pasti akan menemukannya di
sana.
Tapi, bukankah ruang music berada di sudut
sekolah dan tersembunyi? Ya, ia akan aman di sana. Ia yakin.
Artha kembali berjalan perlahan-lahan,
keringat dingin mengalir di pelipisnya. Cahaya putih tipis dari jendela luar
membuat kepalanya berputar, membuat isi perutnya naik ke kerongkongan. Ia mual.
Dan, keadaannya bertambah buruk ketika ia melihat lorong yang seakan bergerak
dan tak berujung.
Cepat-cepat Artha merogoh kantungnya.
Tetapi, botol kecil itu tak ada di sana. Ia terkesiap, bibirnya bergetar. Di
mana terakhir kali ia meletakkan botol kecil kesayangannya itu? Di mana?
Matanya berputar, ia memaksa otaknya untuk
mengingat. Ia menarik nafas ketika teringat ia meninggalkan botol kecil itu di
ruang music ketika ia latihan biola sore tadi. Dan, ia teringat bahwa itulah
alasan ia datang ke sekolah ini. Yaitu, untuk mengambil botol kecil nan ramping
yang selalu menemaninya kemanapun. Ia tidak peduli dengan sms bodoh yang
mengancam akan membongkar rahasianya. Ia selalu berhati-hati. Selalu
berhati-hati. Hanya kali inilah ia ceroboh. Sekarang ia punya lebih dari satu
alasan untuk pergi ke ruang music.
Kala Artha menemukan semangatnya kembali,
ia mendengar suara tembakan.
***
Di dalam kegelapan, di sudut-sudut yang
sama sekali tidak diterangi cahaya, Mortis memegang microphone di tangan
kanannya dengan gemetar sementara tangan kirinya memeluk shot gun. Wajahnya
terhias dengan senyuman lebar, membuat mulutnya seolah-olah terlihat robek dari
telinga ke telinga.
Dengan tangannya yang bergetar ia membuka
beberapa carik kertas yang sudah lecek dan basah, bahkan ternoda dengan sedikit
percikan darah. Ia mengambil bolpen berwarna merah dan mencoret beberapa paragraph
tulisan dengan judul “Laboratorium Kimia”. Lalu, ia membuka kertas lain, kertas
yang berisi foto-foto korbannya malam ini. Dengan bolpen merah itu ia mencoret
dua foto, foto Resta dan Loly. Lagi-lagi senyum lebar menghiasi wajahnya.
Ia kembali melihat kertas-kertas yang berisi tulisan itu. Semuanya sesuai rencana,
semuanya sesuai prediksi mereka. Meski ia kedatangan orang yang tak diundang,
rencana mereka berjalan tanpa cela dan tanpa ada cacat. Ia menelusuri paragraph
berikutnya, matanya membelalak ketika menemukan panggung selanjutnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar