Selasa, 21 Oktober 2014

School Game : Chapter 4

Past

Wajahnya yang cantik, rambutnya yang indah dan badannya yang sempurna membuat Gaby menjadi gadis paling populer satu sekolah. Semua pria ingin menjadi kekasihnya dan semua gadis ingin menjadi temannya. Dengan itu, Gaby merasa dirinya berkuasa, tak akan ada yang sanggup menolak permintaannya. Lagipula, pikirnya, siapa yang butuh teman jika ia punya dua pesuruh yang sempurna, yang menuruti semua permintaan dan perintahnya.
Ia pertama kali bertemu Resta saat penerimaan murid baru. Resta terlihat seperti putri yang angkuh, persis seperti dirinya, namun tentu saja ia sama sekali tidak dapat menandingi kecantikannya. Resta tergagap ketika pertama kali Gaby menyapanya, menyalami tangan Gaby dengan sikap hormat berlebihan yang tidak terasa tulus.
Tapi, Gaby menyukai itu. Ia tidak keberatan dengan sikap pura-pura, ia tidak perlu ketulusan, ia hanya perlu orang yang menuruti perintahnya. Dan, pengamatannya ternyata tepat, Resta langung patuh padanya begitu ia menawari uang dan kemewahan. Ternyata dari lagaknya saja Resta orang kaya namun ternyata ia sangat miskin. Lihat, kan? Siapa yang butuh pertemanan tulus ketika kau mendapat banyak keuntungan hanya dari gengsi dan kepura-puraan? Toh, Gaby juga sudah memberi Resta status sebagai anak popular di sekolah karena berteman dengannya.
Kemudian ada Loly, gadis lugu dan manis, persis seperti gadis-gadis di idol group. Loly juga cukup ramah dan suka tersenyum kepada setiap pria yang mendekatinya. Dan, Gaby melihat itu sebagai ancaman. Oleh karena itu, Gaby harus menjadikannya sekutu yang tunduk kepadanya. Hal ini ternyata cukup mudah karena Resta menyadari beberapa lebam di lengan Loly, belum lagi memar merah di pipinya yang berhasil ditutupinya dengan make-up. Singkat kata, Loly butuh perlindungan dan seseorang tempatnya berbagi. Resta menjalankan peran itu dengan baik, menjadi kakak yang perhatian. Sampai akhirnya, Loly terbujuk menjadi pesuruhnya. Namun berbeda dengan Resta yang Gaby tahu tidak tulus, sikap Loly kepadanya cukup tulus. Ia tunduk dan sangat patuh.
Gaby tersenyum lebar ketika ia berjalan di lorong sekolah dengan diikuti oleh dua pengikutnya yang paling setia. Itu menunjukkan bahwa ia punya kuasa dan popular, membuat semua orang memperhatikannya. Ditambah dengan melakukan penyiksaan terhadap Heru, yang tidak dapat dipungkiri adalah pecundang nomor 1 di sekolah, menekankan kenyataan bahwa tidak akan ada orang yang berani melawannya. Ia adalah Ratu di sekolah ini dan bersama dengan Resta dan Loly, ia tidak terkalahkan.
Meskipun demikian, Gaby meyakinkan dirinya untuk tidak terikat dengan Resta dan Loly, toh mereka bisa dibuang kapan saja. Sekali saja mereka tidak melakukan apa yang ia minta, Gaby akan membuangnya. Masih banyak gadis yang ingin menggantikan posisi mereka. Gaby merasa kalau ia terikat akan sesuatu berarti ia lemah dan ia tidak mau menjadi lemah.
Namun, ketika melihat dan menyadari bahwa dua tubuh yang terbujur kaku dan bersimbah darah di depannya adalah Resta dan Loly, Gaby seketika merasa lemah. Ia tidak punya kekuatan bahkan untuk berdiri hingga ia terduduk lemas di lantai. Nafasnya tersengal, mulutnya menganga, ia ingin berteriak, ingin meraung, ingin memukuli sesuatu, tapi tubuhnya membeku tidak bergerak. Bibirnya bergerak-gerak, tapi tak ada suara yang keluar. Dalam pikirannya, ia tahu ia harus cepat bangkit, mengibaskan rambutnya dan pergi dari tempat itu dengan kepala terangkat, tapi ia tidak bisa, rasa-rasanya ada satu sarafnya yang putus yang membuatnya tidak bisa bergerak.
Deruan proyektor-lah yang kemudian membuatnya kembali ke kesadarannya. Ia menengok perlahan-lahan, matanya terbelalak ketika melihat nama “RESTA” berwarna merah darah di layar. Sekarang apalagi yang direkam oleh si brengsek itu?!? Belum cukupkah hanya dengan membunuh Loly dan Resta?!? Gaby menggeram dengan gigi bergemeletuk.
Layar kemudian memperlihatkan wajah-wajah Resta yang tertawa ketika bersenang-senang di club bersama Gaby dan Loly. Atau, ketika ia dengan angkuh menampar seorang adik kelas. Melayani Gaby dengan mengambilkan apa saja yang diperintahkan olehnya. Resta memang dikenal sebagai gadis galak yang paling setia dengan mengikuti kemanapun Gaby pergi. Akan tetapi, kesan itu menghilang seketika ketika warna di layar berubah suram. Si pengambil gambar terlihat mengikuti Resta ke sebuah hotel mewah. Ia naik ke lantai suite room dan menuju ke sebuah kamar. Ketika kamar itu terbuka keluarlah pria setengah baya yang memberinya ciuman di bibir dan menggerayangi paha Resta. Kemudian Resta ditarik masuk kamar itu.
“Pelacur bangsat!!” Gaby merangkak ke tubuh Resta dan dengan tersengal-sengal menarik tubuh Resta dan membantingnya, membuat perut Resta yang berlubang menumpahkan isinya. “Berani-beraninya kau!!” Gaby bangkit dan menendang-nendang tubuh Resta.
Ternyata film tentang Resta tidak berhenti sampai di situ. Setelah keluar dari hotel, Resta pergi ke sebuah bar kumuh dan di sana ia bekerja sebagai pelayan hingga jam 12 malam sebagaimana ditunjukkan oleh jam kamera yang tertera di layar. Kamera kemudian mengikutinya pulang, yang mana tidak terlalu sulit karena Resta pulang dengan berjalan kaki. Gaby terkesiap ketika melihat rumah Resta yang kumuh dan reyot. Ketika Resta memasuki rumahnya, layar menjadi hitam dan proyektor kembali bekerja.
Semuanya terdiam dan menatap Gaby, mencoba sebisa mungkin agar tidak melihat tubuh mengenaskan Resta yang tergeletak di lantai. Gaby yang menyadari tatapan orang-orang itu kemudian tersenyum dan berkata dengan sinis, “Dia seorang pelacur dan penipu!!” Ia kemudian menendang mayat Resta lagi. “Ia pantas mati! Ia menjijikkan!!” serunya dengan wajah puas. Kemudian ia tertawa terbahak-bahak, hingga menggema ke lorong-lorong.
Saat itulah kembali terdengar suara alarm yang melengking tinggi dan suara Mortis yang memekik kembali terdengar dengan sangat mengganggu. “Hihihi… Hihihi… Hahaha!! Kematian yang indah bukan!!” serunya lantang. “Dari atas sini mereka terlihat seperti bunga bangkai yang sedang mekar!!”
“Diam kau, Mortis!!” seru Bobby dengan takut-takut. Setelah itu, ia cepat-cepat menghampiri Gaby yang masih menendang-nendang mayat Resta.  “Hey, sayang. Tenanglah… Meski itu mayat, itu tetaplah Resta…”
Dengan kasar dan penuh emosi, Gaby mendorong Bobby menjauh, “Aku tidak peduli!! Dia pelacur murahan yang lebih rendah dari lintah!!” bentaknya lalu meludah ke atas mata Resta yang tertusuk dan sekarang telah mengeluarkan nanah berwarna kekuningan.
“Hihihi… Bukankah kau sama saja?” suara Mortis melengking tinggi ketika mengatakannya.
Ucapan itu membuat Gaby emosi dan melemparkan salah satu gelas kimia yang berada paling dekat dengannya ke speaker hingga gelas itu pecah berkeping-keping. Tanpa mempedulikan semua yang berada di situ sedang memandangnya dengan pandangan takut dan cemas, ia pergi meninggalkan laboratorium kimia. Kepergiannya diiringi dengan suara Mortis yang terkikik di speaker.
Bobby yang tadinya hanya bisa terdiam karena kakinya terasa lemas, akhirnya mengikuti langkah Gaby. Tapi, sepertinya ia terlambat karena Gaby telah menghilang di ujung lorong. Teriakan Bobby yang meneriakkan nama kekasihnya itu menggema di kegelapan.
Setelahnya suara Mortis tidak terdengar lagi. Lorong kembali sunyi, meninggalkan Ezky, Lena dan Sinta yang berdiri terdiam.
Lena menatap kedua tubuh berlimang darah yang tergelapar di lantai dingin. Rasa-rasanya isi perutnya mulai naik karena melihat pemandangan itu. Lalu, dengan segenap kekuatannya ia melepaskan diri dari pelukan Ezky dan berjalan tertatih-tatih ke salah satu lemari penyimpanan. Di lemari itulah ia tahu guru kimia mereka suka menyimpan jas laboratorium yang berwarna putih. Ia menemukan beberapa dan di antaranya sudah sangat berdebu, usang berwarna kekuningan, lalu ia mengambil 2 di antaranya.
Menyadari apa yang akan diperbuat oleh Lena, Sinta datang menghampirinya. “Aku akan menutupi tubuh Loly,” ucapnya sambil mengambil jas itu. Lena mengiyakan dengan mengangguk lemah.
Dengan hati-hati Lena menghampiri tubuh Resta, menutupinya dengan kain putih yang seketika langsung berbercak merah. Dilihatnya Sinta yang menutupi tubuh Loly sambil mengalihkan pandangannya dengan meringis. Kemudian dilihatnya Ezky, sedikit buram karena ia sadar air matanya sudah tergenang di pelupuk matanya.
“Ayo kita cari Limper. Semoga ia sudah menemukan sesuatu…” ujar Ezky lemah.
Sambil menyeka air mata-nya, Lena berjalan bersama Sinta keluar dari laboratorium kimia itu. Entah sampai kapan mereka harus seperti ini, terkurung tanpa daya seperti ini, yang jelas permainan ini belum berakhir.
***
Menelusuri lorong gelap dengan cahaya dari handphone-nya, Limper berhati-hati agar tidak mendekati jendela. Ia tidak ingin mati dengan mengenaskan dan penuh kebodohan seperti Heru. Meskipun ada indikasi bahwa kematian Heru hanyalah gertakan dari Mortis agar tidak ada seorangpun yang mencoba keluar dari jendela, tetap saja ia tidak mau menempuh resiko. Setelah berjalan cukup jauh dari tempat awal-nya akhirnya ia menemukan ruangan yang ia cari. Ruang Komputer.
Limper berdiri di depannya dan menarik nafas beberapa kali. Dia sudah sering menonton film-film jenis horror slasher dimana yang sang pembunuh selalu lebih pintar dua sampai tiga langkah dari mangsanya. Mungkin saja ia sudah memprediksikan langkah Limper untuk datang ke ruang komputer. Meski dilihat dari caranya menangani Heru, Mortis ini pastilah tidak lebih pintar dari Jigsaw, tetapi ia mungkin lebih sakit jiwa daripada pembunuh di film “Saw” itu.
Cepat-cepat ia membuka pintu ruang komputer dan langsung memasang sikap waspada. Namun, hening. Tidak terjadi apa-apa. Ia menelan ludah dan memandang sekeliling dengan diterangi cahaya handphone-nya. Setelah yakin tidak ada ancaman apapun, ia melangkah ke salah satu komputer, ia memilih komputer yang selalu ia pakai ketika pelajaran. Sedikit berisiko memang karena mungkin ini adalah salah satu jebakan Mortis, tapi akan menghemat waktu karena ia tidak perlu lagi mengunduh software-software yang diperlukannya.
Dengungan komputer yang menyala memecah kesunyian. Ia mengeluarkan laptop-nya dari dalam tas dan menghubungkannya dengan komputer itu. Limper mulai melemaskan jari-jarinya. Ia siap-siap bekerja ketika samar-samar terdengar suara tembakan. Lagi-lagi ia menelan ludah dan kembali waspada.
“Sialan! Brengsek! Siapa kali ini?!?” umpatnya. Dia masih terus waspada dan mengawasi pintu dan jendela meskipun pandangannya terbatas.
Kembali hening, tidak terjadi apa-apa.
Limper menghela nafas lega dan kembali duduk di depan layar komputer yang sudah dalam posisi siap. Ia lalu menekan beberapa tombol, berkonsentrasi penuh memasukkan beberapa formula hingga layar dipenuhi angka-angka dan huruf-huruf yang bergerak cepat. Ia menghisap rokoknya yang tipis dan kurus itu, kakinya bergoyang-goyang tidak sabar.
“Ayo… Ayo beri aku koneksi…” desisnya, matanya terus menatap layar.
Kemudian perhatiannya teralih ketika proyektor yang ada di langit-langit keluar dari tempat penyimpanannya dan menyala secara otomatis. Layar yang berada tepat di depan proyektor itu juga tiba-tiba terkembang. Limper kaget setengah mati hingga ia hampir jatuh dari kursinya. Nafasnya memburu dan ia kembali waspada, memandang pintu dan jendela-jendela secara bergantian.
Dan, ketika ia melihat nama Loly yang ditulis dengan huruf merah muncul di layar proyektor, tangannya mengepal. Tanpa mempedulikan sekelilingnya, ia kembali ke kursi, tangannya bergerak cepat dan lincah di atas keyboard. Korban berikutnya sudah jatuh. Bukan saatnya lagi untuk main-main.
***
Jari-jarinya bergetar hebat ketika ia terjatuh di sudut lorong. Kakinya yang lemas, yang sedari tadi ia tahan, kini benar-benar tidak dapat menopang tubuhnya. Ia menutup mulutnya, menahan agar teriakkan tidak terlepas dari tenggorokkannya. Atau, pembunuh gila itu akan menemukannya. Air mata mulai mengalir dari pelupuk matanya, membasahi pipinya yang dingin. Kepalanya sakit, terasa seperti dipukul oleh 100 palu.
Artha menengadah, melihat langit-langit, tatapannya menerawang. Ia melihat ke kiri dan kanannya yang hanya berujung lorong gelap. Samar-samar ia mendengar suara langkah yang berderap-derap menuruni tangga. Itu pasti Ezky dan Lena beserta Sinta yang menguntit. Haruskah ia mengikuti mereka? Setidaknya mereka punya Ezky yang bisa melindungi mereka bukan?
Tidak.
Ia tidak bisa mengikuti mereka. Bagaimana kalau salah satu dari mereka adalah pembunuh itu? Tidak. Tidak. Tidak.
Ia tidak bisa percaya dengan siapapun. Ia hanya bisa percaya dengan dirinya sendiri saat ini. Ya. Hanya dirinya.
Tertatih-tatih ia mencoba berdiri. Tangannya mencengkram erat tembok sebagai penopang dirinya. Artha berjalan perlahan dengan kaki terseret. Kembali matanya menerawang, mencoba menentukan arah mana yang harus ia tuju.
Ruang musik. Ia harus ke ruang musik. Ia akan aman di sana bersama dengan biola-nya. Ya. Ya. Ya. Ia harus ke…
Tidak. Tidak. Tidak.
Pembunuh itu pasti akan menemukannya di sana.
Tapi, bukankah ruang music berada di sudut sekolah dan tersembunyi? Ya, ia akan aman di sana. Ia yakin.
Artha kembali berjalan perlahan-lahan, keringat dingin mengalir di pelipisnya. Cahaya putih tipis dari jendela luar membuat kepalanya berputar, membuat isi perutnya naik ke kerongkongan. Ia mual. Dan, keadaannya bertambah buruk ketika ia melihat lorong yang seakan bergerak dan tak berujung.
Cepat-cepat Artha merogoh kantungnya. Tetapi, botol kecil itu tak ada di sana. Ia terkesiap, bibirnya bergetar. Di mana terakhir kali ia meletakkan botol kecil kesayangannya itu? Di mana?
Matanya berputar, ia memaksa otaknya untuk mengingat. Ia menarik nafas ketika teringat ia meninggalkan botol kecil itu di ruang music ketika ia latihan biola sore tadi. Dan, ia teringat bahwa itulah alasan ia datang ke sekolah ini. Yaitu, untuk mengambil botol kecil nan ramping yang selalu menemaninya kemanapun. Ia tidak peduli dengan sms bodoh yang mengancam akan membongkar rahasianya. Ia selalu berhati-hati. Selalu berhati-hati. Hanya kali inilah ia ceroboh. Sekarang ia punya lebih dari satu alasan untuk pergi ke ruang music.
Kala Artha menemukan semangatnya kembali, ia mendengar suara tembakan.
***
Di dalam kegelapan, di sudut-sudut yang sama sekali tidak diterangi cahaya, Mortis memegang microphone di tangan kanannya dengan gemetar sementara tangan kirinya memeluk shot gun. Wajahnya terhias dengan senyuman lebar, membuat mulutnya seolah-olah terlihat robek dari telinga ke telinga.
Dengan tangannya yang bergetar ia membuka beberapa carik kertas yang sudah lecek dan basah, bahkan ternoda dengan sedikit percikan darah. Ia mengambil bolpen berwarna merah dan mencoret beberapa paragraph tulisan dengan judul “Laboratorium Kimia”. Lalu, ia membuka kertas lain, kertas yang berisi foto-foto korbannya malam ini. Dengan bolpen merah itu ia mencoret dua foto, foto Resta dan Loly. Lagi-lagi senyum lebar menghiasi wajahnya.
Ia kembali melihat kertas-kertas yang berisi tulisan itu. Semuanya sesuai rencana, semuanya sesuai prediksi mereka. Meski ia kedatangan orang yang tak diundang, rencana mereka berjalan tanpa cela dan tanpa ada cacat. Ia menelusuri paragraph berikutnya, matanya membelalak ketika menemukan panggung selanjutnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar