Dengan kesal Gaby mengangkat-ngangkat
telepon genggamnya ke udara, mencoba mencari sinyal sembari menyusuri lorong
sekolah yang gelap. “Sial! Kenapa bisa enggak ada sinyal, sih?!?” hentaknya
putus asa.
“Tenanglah,” Bobby merangkulnya. “Kita pasti
keluar dari sini,” ucapnya, berusaha menenangkan Gaby sambil mengelus-ngelus
lengannya.
Alih-alih tenang, Gaby malah mendelik ke
arah Bobby, “Ya, tapi gimana caranya keluar dari sini!!” bentaknya.
“Eng, gimana kalau kita gedor-gedor pintu
supaya penjaga sekolah mendengar kita?” ucap Loly dengan suara melengkingnya.
Dengan kasar Resta langsung menempeleng
kepala Loly, “Kamu itu punya otak enggak, sih? Inget enggak tadi apa yang
ditulis di jendela itu? Kita tidak boleh terlihat berusaha keluar dari sini!! Apa
kamu mau lehermu bolong seperti Heru!?”
Cepat-cepat Loly menggelengkan kepalanya
sambil menutupi lehernya.
“Jangan sebut-sebut nama Heru lagi!! Dia
yang menyebabkan kita terperangkap di sini! Coba dia tidak bertingkah, kita
tidak akan menyiksanya malam ini dan sekarang kita sedang bersenang-senang di
club…” seru Gaby kesal. Ia kemudian menghela nafas dan melirik kepada kedua
minions-nya, lalu memberi pandangan penuh arti kepada Bobby. “Aku… perlu…
pelepas stress…” ucapnya patah-patah dengan senyum menggoda.
Perkataan itu dan gesture Gaby terhadap
Bobby bagaikan kode yang sudah sangat dimengerti oleh Loly dan Resta.
Pelan-pelan kedua minion Gaby itu berbalik pergi sementara Gaby menarik Bobby
ke dalam ruang kelas sambil melepas kancing seragam pria itu satu persatu.
Begitu sudah agak jauh dari Gaby dan Bobby,
Resta menendang kaleng pembuangan sampah dengan gusar, membuat Loly tersentak
karena takut sekaligus terkejut. “Bisa-bisanya dia masih melakukan itu di
tengah kondisi seperti ini?”
“Resta… tenanglah. Kau tahu Gaby, kan…”
Loly bercicit.
Tiba-tiba Resta mencengkram tangan Loly
dengan kencang, “Dia gila… kau tahu… Dia gila!! Orang yang sering dia siksa
baru saja mati tertembak dan dia, dia…” Resta mengacak-ngacak rambutnya dan
tersungkur di lantai. Ia melipat kakinya, menempelkan lututnya di dada.
“Mestinya aku tidak usah menjadi pengikutnya…”
Loly yang mengerti keadaan keluarga dan
ekonomi Resta mengulurkan tangannya, berniat untuk membelai lengan Resta untuk
menenangkannya. Tetapi, ketika tangan Loly mendekat, Resta menarik tangan
temannya itu dan menyadari warna kebiruan di lengan atas Loly yang ditutupi
seragam. “Ayah kamu mukulin lagi?” tanyanya dengan nada yang tulus.
“Enggak…” Loly cepat-cepat menarik
tangannya. “Ini kemarin aku jatuh waktu mengerjakan tugas dari Gaby. Bukan
apa-apa, kok…”
Resta berdiri dan melingkarkan lengannya di
leher Loly, lalu dengan lembut mengusap-ngusap pipi gadis itu. “Kamu memang
manis, tapi bukan berarti kamu pembohong yang baik,” ucap Resta lembut. Ia
kemudian menggandeng tangan Loly dan berkata, “Ayo kita coba cari jalan keluar
dari sini.”
Dengan senyuman Loly mengangguk dan
mengikuti langkah Resta. Mereka berjalan perlahan-lahan menyusuri lorong
sekolah di lantai 2 yang semakin lama semakin gelap karena cahaya matahari senja
yang mulai menghilang. Berusaha keras tidak melihat, bahkan melirik, kelas di
mana tubuh Heru tergeletak. Menutup kuping ketika mereka kembali melewati ruang
kesenian dimana Gaby dan Bobby sedang bersetubuh.
“Bukankah itu lucu?” bisik Loly, mendekatkan
tubuhnya kepada Resta.
“Hmm?” Resta mengerutkan alis.
“Ruang Kesenian itu, kan tempat Bobby biasa
menjadi…”
“Oooh, dengan Pak Hendy maksudmu? Lebih ke
menjijikkan daripada lucu, menurutku,” Resta terkikik.
Lalu mereka memutuskan untuk menuruni
tangga ke lantai satu. Mungkin saja rombongan Lena tadi membiarkan pintunya
terbuka. Dengan langkah semangat dan positif mereka menghampiri pintu utama.
“Tunggu, jangan terlalu dekat. Jangan
melakukan kebodohan seperti Heru…” ucap Resta yang tampaknya masih dapat menggunakan
akal sehatnya. Ia kemudian mengambil handphone-nya dan mengarahkan cahaya dari
handphone itu ke arah pintu. Ia berjalan mendekat perlahan-lahan, diikuti oleh
Loly yang dengan gelisah mengigiti kukunya. Dan, bahkan dari kejauhan-pun
mereka menyadari bahwa pintu itu tertutup rapat. Mereka mendesah kecewa dan
dengan reflex Resta-pun mengecek handphone-nya yang ternyata masih belum
mendapatkan sinyal.
“Apa menurutmu kita harus kembali ke Gaby?
Mungkin dia dan Bobby bisa mencarikan jalan keluar…” ucap Loly takut-takut.
Resta mendesah, “Daripada mereka, aku lebih
baik pergi mencari Ezky dan Limper. Aku yakin aku mendengar Ezky meminta Limper
untuk melakukan sesuatu terhadap sistem orang gila itu…” ucap Resta. “Tapi… Ah,
sudahlah. Kita cari jalan sendiri saja!” serunya ketus. Pikirnya, meski berada
di ancaman kematian seperti ini, ia tidak mungkin mengemis pertolongan kepada
orang-orang yang sering diejeknya.
Namun, kali ini Loly tidak langsung
mengkuti langkah Resta. “Resta… menurutmu apakah sekarang orang tua kita sedang
mengkhawatirkan kita. Bagaimanapun ini sudah gelap, kan?” ujar Loly dengan
suara serak, sepertinya ia berusaha menahan air mata dan rasa takutnya.
“Heeei…” Resta menggenggam lengan Loly,
“Jangan pesimis seperti itu. Kita pasti keluar dari sini,” ucap Resta, mencoba
untuk mengucapkannya dengan tenang agar Loly tidak khawatir, meski ia sendiri
merasa pesimis. “Lagipula, orang tua-ku tidak akan mencariku. Mereka tahu aku
selalu pulang pagi dan mereka tidak peduli,” tambahnya dengan nada pahit.
Loly menggigit bibirnya, ia tahu
penderitaan Resta dan orang tuanya yang tidak peduli dengannya dan
adik-adiknya. Ia kemudian mendesah dan menggenggam lengan Resta, “Ayo, kita
sama-sama keluar dari tempat ini!” secercah senyum muncul di wajah Loly.
Mereka kemudian kembali berjalan menyusuri
lorong, mencoba sebisa mungkin agar menjauh dari jendela. Hari sudah gelap dan
lampu-lampu sudah dimatikan, cahaya yang mereka dapat hanya berasal dari lampu
sorot di luar gedung sekolah. Beberapa kali mereka menelan ludah ketika mencoba
membuka pintu satu persatu, tetapi pintu-pintu kelas itu terkunci. Sampai
akhirnya, mereka bernafas lega ketika salah satu pintu bisa dimasuki.
Setidaknya jika bersembunyi di ruangan, mereka tidak harus berkeliaran di
lorong dengan pembunuh yang mengincar mereka dari balik jendela.
Ternyata ruangan yang mereka masuki adalah
laboratorium kimia. Gelas-gelas dan tabung reaksi bertebaran dimana-mana,
ditambah bau alcohol dan spiritus yang menguar di udara. “Bau-nya seperti di
rumah sakit…” komentar Loly sambil menutup hidung.
“Karena itukah kau selalu absen jika ada
kelas kimia?” tanya Resta dengan nada sinis.
“Bukankah kau juga selalu absen?” mulut
Loly mengerucut.
“Aku tidak pernah absen. Pak Jodi terlalu
menawan untuk dilewatkan begitu saja,” Resta tersenyum menggoda dan mengerling
kepada Loly. Pak Jody adalah guru pelajaran Kimia yang meski usianya tidak muda
lagi masih terlihat tampan dan berkarisma.
“Errgh, bisa-bisanya kau bicara seperti itu
di saat seperti ini…” keluhnya.
Ketika mereka terkikik, tiba-tiba terdengar
suara berdebam yang sangat dekat, diikuti dengan suara menggesek seperti
langkah kaki. Resta dan Loly saling bertatapan kemudian dengan reflex
cepat-cepat merunduk di bawah meja. Mereka berpegangan tangan, terasa tangan
Resta yang berkeringat dingin dan tangan Loly yang bergetar. Sebulir air mata
menetes dari mata Loly dan lonjakan besar dari perutnya membuatnya merasa mual.
Suara bedebam itu semakin mendekat. Rasanya
orang itu sedang memeriksa pintu satu persatu. Dan, akhirnya Resta dan Loly
melihat secercah cahaya memasuki laboratorium, mereka menutup mulut erat-erat,
keringat mengalir deras di pelipis mereka. Resta menarik Loly mendekat dan
mendekapnya erat-erat. Nafas mereka semakin menegang ketika orang itu melangkah
masuk. Tetapi, baru dua langkah, orang itu berhenti, melangkah mundur dan
menutup pintunya. Kemudian, terdengar suara pintu terkunci dan langkah orang
itu-pun menjauh.
Perlahan, Resta dan Loly mengangkat
kepalanya. Jantung mereka masih berdebam dengan cepat, tubuh mereka basah oleh
keringat dan nafas mereka memburu.
“Siapa… siapa itu tadi?” tanya Loly dengan
suara tercekat.
“Entahlah… Yang pasti itu bukan salah satu
dari teman-teman kita…” jawab Resta, ia berjalan perlahan-lahan mendekati pintu.
Ia menelan ludah ketika mendapati pintu itu sekarang terkunci. “Karena
teman-teman kita tidak mungkin punya kunci dan mengunci kita di sini. Itu pasti
orang yang mengaku bernama Mortis itu.” Suara Resta tercekat dan nafas-nya
putus-putus.
Mata Loly langsung berkaca-kaca dan tanpa
bisa ditahan lagi air mata-nya tumpah. Ia terjerembap karena kakinya terasa
lemas.
“Sssh, Loly… Aku takut orang itu masih di
sini…” bisik Resta. Lalu perlahan ia merendahkan tubuhnya dan mendekatkan
matanya ke lubang kunci. Ia mencoba memeriksa apakah si Mortis itu masih berada
di sekitar mereka ketika ia menemukan seseorang balas menatapnya dari lubang
kunci tersebut.
Semuanya berlangsung sangat cepat tanpa
Resta sempat menghindar. Yang ia tahu selanjutnya adalah sebuah rasa perih yang
menyakitkan menusuk mata kirinya dan lewat sudut mata kanannya ia bisa melihat
darah yang menetes-netes. Ia meraung keras ketika darah mengalir semakin deras,
mengalahkan suara teriakan Loly. Resta mencabut benda tajam dan dingin yang
menusuk matanya dengan cepat, memberikan rasa sakit yang tidak terperi. Darah
dari matanya mengalir, membasahi wajahnya dengan cairan merah kental yang
berbau amis. Ia kembali meraung ketika tiba-tiba terdengar suara tembakan.
“Aarrrrkkkhh…” ia meraung ketika menyadari
pintu laboratorium yang telah bolong dan darah yang merembes dari pinggangnya.
Ia meraba pinggang sampingnya yang kini terluka dengan lingkaran besar.
Nafasnya tercekat, darah juga menyembur dari mulutnya. Rasa sakit yang tak
tertahankan itu menghilang ketika tubuhnya terjatuh dan terjerembab ke genangan
darahnya sendiri.
“Aaaaa!! Restaaaaa!!!” Loly berteriak dari
sudut laboratorium dan cepat-cepat menghampiri tubuh Resta. Dengan penglihatan
yang kabur karena air mata-nya yang mengalir deras, ia bisa melihat wajah Resta
yang kesakitan menjelang kematiannya, mata dan mulut Resta terbelalak dan isi
perutnya menguar keluar. Dengan tangan bergetar ia menutup mata dan mulut
Resta.
Dari belakang Loly kemudian terdengar suara
tawa terkikik. Loly memang tidak bisa melihat sosoknya namun secara instingtif
ia tahu ia harus berlari dengan cepat dan kabur dari tempat itu. Lari dari
jangkauan si pembunuh.
Tergopoh-gopoh Loly berlari, sekuat tenaga
menahan tubuhnya agar tetap tegak, menghapus air mata yang mengurangi
pandangannya. Sayangnya, ia tidak cukup cepat karena ia tiba-tiba merasakan
sentakan keras di punggungnya serta rasa terbakar yang menyengat. Selanjutnya,
pelipisnya menghantam lantai dingin dan keras.
Nafasnya terputus-putus ketika ia mendengar
si pembunuh memasuki laboratorium kimia dan mengelilinginya. Terdengar suara
botol-botol yang berdentingan dan pecah terbanting. Rasa sakit yang menyelimuti
tubuhnya sudah tak tertahankan lagi ketika dengan sudut matanya ia mendapati
orang itu melangkah semakin mendekat kepadanya. Ia tidak bisa melihat wajahnya
dan ia juga tidak punya tenaga untuk berpikir apapun saat ini. Yang dirasakan
oleh Loly selanjutnya adalah panas membara yang membakar wajahnya dan seluruh
tubuhnya. Perlahan nafasnya-pun menghilang.
Suara-suara tembakan yang menewaskan dua
orang itu ternyata mengundang beberapa orang untuk bergabung. Mortis tersenyum
ketika mendengar suara yang ia kenal berjalan cepat mendekat ke tempatnya
berada sekarang. Ia tersenyum senang, merasa adrenalin menjalar di seluruh
tubuhnya. Tetapi, ini bukan saatnya ia berhadapan langsung dengan orang-orang
itu. Ia ingin kesenangan perburuan ini berlangsung lebih lama lagi. Oleh karena
itu, secepat kilat ia menghilang dari tempat itu, memanfaatkan keadaan tanpa
cahaya di lorong sekolah.
“Kau yakin kita harus pergi ke arah suara
tembakan itu? Bagaimana jika pembunuh itu masih ada di sana?” tanya Lena dengan
suara bergetar.
Sinta mengamini, “Benar kata Lena, Ky. Kita
harus bersembunyi…”
“Dan kehilangan kesempatan untuk berhadapan
langsung dengan orang yang mengaku bernama Mortis itu?” geram Ezky. “Tidak
akan!” Ezky mempercepat langkahnya ketika mendapati satu pintu yang terbuka di
ujung lorong. Ia menyuruh Lena dan Sinta menunggu sementara ia berlari
menghampiri pintu terbuka itu. Sepatunya berdecit ketika ia berhenti di depan
pintu terbuka itu dan mendapati lubang besar di tengah pintu. “Shit!”
Ezky memasuki laboratorium kimia dengan
langkah perlahan ketika menyadari ada 2 tubuh yang tergeletak di dalamnya. Ia
mengambil handphone-nya dan mulai menerangi ruangan di depannya. Tubuh yang
pertama ia lihat ia kenali sebagai Resta. Tubuh itu terlentang dengan luka
besar menganga di samping pinggang sebelah kiri-nya, memperlihatkan daging
segar berwarna kemerahan, isi perut yang menguar dan darah yang menetes-netes
dari tulangnya yang hancur. Ditambah dengan mata gadis itu yang tertusuk dengan
sesuatu yang tipis, tajam dan berwarna keperakan.
Tubuh tergeletak yang satu lagi mempunyai
luka yang hampir sama, namun di punggungnya. Dan, luka itu terlihat lebih mengenaskan
daripada luka yang ada di tubuh Resta. Ezky berjalan semakin mendekat dan
langsung menutup mulutnya ketika melihat wajah rusak gadis itu. Sepertinya
wajah itu disiram oleh suatu cairan asam hingga membuatnya meleleh. Tetapi,
dari perawakan dan model rambut, Ezky dapat mengenali bahwa tubuh itu adalah
Loly.
“Ez… ky… “ suara Lena yang terbata-bata
terdengar dari belakangnya.
“Jangan masuk!!” hentaknya sambil menengok
ke belakang, melihat Lena dan Sinta yang terperangah di ambang pintu. Ezky
berdiri dan berjalan cepat kea rah Lena, menutupi pemandangan di belakangnya
dengan punggungnya.
“Mereka… Tubuh itu… Siapa? Bagaimana?”
suara Lena bergetar ketika menanyakannya. Rupanya ia sempat melihat 2 tubuh
yang tergeletak itu.
“Resta dan Loly…” jawab Ezky cepat, menatap
lekat ke mata Lena. “Mereka tertembak dan tewas…”
Lena menarik nafas dan tubuhnya serasa
lemas, ia mencengkram lengan Ezky untuk menopang dirinya. Ia menggelengkan
kepalanya dan Ezky menariknya ke dalam pelukan. “Tidak… tidak mungkin…” bisiknya
tak percaya.
“Tampaknya… yang Mortis maksud dengan
bertahan hidup adalah… bertahan hidup dari kejarannya…” ucap Ezky.
“Maksudnya?” tanya Sinta.
Dengan pandangan nanar, Ezky melirik Sinta,
“Maksudnya… Mortis adalah seorang pemburu dan kita adalah buruannya. Kita harus
bisa bertahan hidup dari kejarannya…”
Kening Lena berkerut ketika mendengarnya,
“Apa?”
Suara alarm yang seperti tadi tiba-tiba
berbunyi nyaring mengisi kesunyian. Refleks mereka bertiga menutup kuping.
Suara alarm itu berhenti dan terdengar-lah suara Mortis yang berdeham-deham,
kemudian ia terkikik tinggi dan lalu tertawa terbahak-bahak. “Buahahaha…!!
Tampaknya ada yang baru saja menyadari tujuan permainan ini! Aku kira kalian
akan mengetahuinya sejak pertama!! Hahahaha!!” Ia tertawa lagi lalu menarik
nafas panjang, “Ya, benar!!! Tujunku mengumpulkan kalian di sini adalah memburu
kalian hingga ke neraka!!” serunya dengan penuh nada kebencian. Kemudian sunyi…
Lalu suara seperti mur berputar
mengelilingi mereka dan dari setiap ruang kelas muncul secercah sinar dari
proyektor yang memang ada di masing-masing kelas. Layar yang ada di depan
kelas-pun perlahan-lahan terkembang dan menjadi wadah dari sinar proyektor
tersebut. Lalu, di layar tersebut munculah nama “LOLY” dengan font besar dan
ditulis dengan warna merah darah serta diiringi lagu anak-anak yang ceria.
“Film lain lagi?” bisik Lena, masih di
pelukan Ezky, memancing Sinta menatap mereka berdua dengan tidak nyaman.
Film itu dibuka dengan senyum ceria Loly
yang sedang memakan permen lollipop-nya, kesehariaannya bersama Gaby dan Resta,
mulai dari bersenang-senang bareng di pusat perbelanjaan barang-barang mewah
dan pesta-pesta. Di semua adegan terlihat Loly yang selalu riang gembira,
bahkan ketika ia sedang menyiksa Heru. Dilihat dari angle-nya, semua itu
diambil dari kamera jarak jauh dan sepertinya tersembunyi. Lalu, warna-warna
cerah kehidupan Loly berubah muram ketika di layar tertera sebuah rumah yang
cukup besar. Dari sudut salah satu jendela di rumah itu, terlihat Loly yang
sedang dipukuli dan ditendang oleh seorang pria yang berbadan cukup besar. Loly
memanggil pria itu dengan sebutan “Papa”, memintanya agar berhenti dengan
terisak-isak dan air mata yang mengalir deras. Loly merangkak, namun hanya
menemukan kaki lain, kali ini seorang wanita dan wanita itu menamparnya dengan
keras. Setelah diludahi oleh pria itu, Loly ditinggal dalam keadaan terkapar
dan sekujur tubuh penuh memar. Ia sedang meringkuk dan merintih sakit saat layar
menunjukkan gambar hitam.
Lena dan Sinta terperangah dan meringis
ketika melihat semua adegan kekerasan itu. Meskipun sering bersama dengan Gaby
dan Resta, dan diketahui suka menindas Heru, Loly adalah gadis yang ceria. Ia
selalu tersenyum dan tertawa terbahak-bahak jika ada kejadian lucu. Mereka
semua tidak menyangka di balik keceriaan itu, Loly menerima penyiksaan seperti
itu dari kedua orang tua-nya.
Langkah kaki yang menderu tiba-tiba
terdengar dari ujung lorong. Sosok Gaby terlihat berlari menghampiri mereka,
diikuti oleh Bobby di belakangnya. “Apa kalian melihat Loly? Kalian melihat
Loly tidak?!?” teriaknya kencang sambil mencengkram lengan Lena dan Ezky.
“Gaby…” suara Sinta yang lemah mengiringi
gerakan matanya menuju laboratorium kimia. Refleks Gaby mengikuti.
Mulut Gaby ternganga ketika melihat pemandangan 2 tubuh yang tergeletak bersimbah darah di lantai laboratorium. Dengan tertatih-tatih ia menghampiri tubuh pertama, ketika ia berbisik, “Resta…?” Proyektor itu kembali menderu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar