Selasa, 07 Oktober 2014

School Game : Chapter 3

Hunted


Dengan kesal Gaby mengangkat-ngangkat telepon genggamnya ke udara, mencoba mencari sinyal sembari menyusuri lorong sekolah yang gelap. “Sial! Kenapa bisa enggak ada sinyal, sih?!?” hentaknya putus asa.
“Tenanglah,” Bobby merangkulnya. “Kita pasti keluar dari sini,” ucapnya, berusaha menenangkan Gaby sambil mengelus-ngelus lengannya.
Alih-alih tenang, Gaby malah mendelik ke arah Bobby, “Ya, tapi gimana caranya keluar dari sini!!” bentaknya.
“Eng, gimana kalau kita gedor-gedor pintu supaya penjaga sekolah mendengar kita?” ucap Loly dengan suara melengkingnya.
Dengan kasar Resta langsung menempeleng kepala Loly, “Kamu itu punya otak enggak, sih? Inget enggak tadi apa yang ditulis di jendela itu? Kita tidak boleh terlihat berusaha keluar dari sini!! Apa kamu mau lehermu bolong seperti Heru!?”
Cepat-cepat Loly menggelengkan kepalanya sambil menutupi lehernya.
“Jangan sebut-sebut nama Heru lagi!! Dia yang menyebabkan kita terperangkap di sini! Coba dia tidak bertingkah, kita tidak akan menyiksanya malam ini dan sekarang kita sedang bersenang-senang di club…” seru Gaby kesal. Ia kemudian menghela nafas dan melirik kepada kedua minions-nya, lalu memberi pandangan penuh arti kepada Bobby. “Aku… perlu… pelepas stress…” ucapnya patah-patah dengan senyum menggoda.
Perkataan itu dan gesture Gaby terhadap Bobby bagaikan kode yang sudah sangat dimengerti oleh Loly dan Resta. Pelan-pelan kedua minion Gaby itu berbalik pergi sementara Gaby menarik Bobby ke dalam ruang kelas sambil melepas kancing seragam pria itu satu persatu.
Begitu sudah agak jauh dari Gaby dan Bobby, Resta menendang kaleng pembuangan sampah dengan gusar, membuat Loly tersentak karena takut sekaligus terkejut. “Bisa-bisanya dia masih melakukan itu di tengah kondisi seperti ini?”
“Resta… tenanglah. Kau tahu Gaby, kan…” Loly bercicit.
Tiba-tiba Resta mencengkram tangan Loly dengan kencang, “Dia gila… kau tahu… Dia gila!! Orang yang sering dia siksa baru saja mati tertembak dan dia, dia…” Resta mengacak-ngacak rambutnya dan tersungkur di lantai. Ia melipat kakinya, menempelkan lututnya di dada. “Mestinya aku tidak usah menjadi pengikutnya…”
Loly yang mengerti keadaan keluarga dan ekonomi Resta mengulurkan tangannya, berniat untuk membelai lengan Resta untuk menenangkannya. Tetapi, ketika tangan Loly mendekat, Resta menarik tangan temannya itu dan menyadari warna kebiruan di lengan atas Loly yang ditutupi seragam. “Ayah kamu mukulin lagi?” tanyanya dengan nada yang tulus.
“Enggak…” Loly cepat-cepat menarik tangannya. “Ini kemarin aku jatuh waktu mengerjakan tugas dari Gaby. Bukan apa-apa, kok…”
Resta berdiri dan melingkarkan lengannya di leher Loly, lalu dengan lembut mengusap-ngusap pipi gadis itu. “Kamu memang manis, tapi bukan berarti kamu pembohong yang baik,” ucap Resta lembut. Ia kemudian menggandeng tangan Loly dan berkata, “Ayo kita coba cari jalan keluar dari sini.”
Dengan senyuman Loly mengangguk dan mengikuti langkah Resta. Mereka berjalan perlahan-lahan menyusuri lorong sekolah di lantai 2 yang semakin lama semakin gelap karena cahaya matahari senja yang mulai menghilang. Berusaha keras tidak melihat, bahkan melirik, kelas di mana tubuh Heru tergeletak. Menutup kuping ketika mereka kembali melewati ruang kesenian dimana Gaby dan Bobby sedang bersetubuh.
“Bukankah itu lucu?” bisik Loly, mendekatkan tubuhnya kepada Resta.
“Hmm?” Resta mengerutkan alis.
“Ruang Kesenian itu, kan tempat Bobby biasa menjadi…”
“Oooh, dengan Pak Hendy maksudmu? Lebih ke menjijikkan daripada lucu, menurutku,” Resta terkikik.
Lalu mereka memutuskan untuk menuruni tangga ke lantai satu. Mungkin saja rombongan Lena tadi membiarkan pintunya terbuka. Dengan langkah semangat dan positif mereka menghampiri pintu utama.
“Tunggu, jangan terlalu dekat. Jangan melakukan kebodohan seperti Heru…” ucap Resta yang tampaknya masih dapat menggunakan akal sehatnya. Ia kemudian mengambil handphone-nya dan mengarahkan cahaya dari handphone itu ke arah pintu. Ia berjalan mendekat perlahan-lahan, diikuti oleh Loly yang dengan gelisah mengigiti kukunya. Dan, bahkan dari kejauhan-pun mereka menyadari bahwa pintu itu tertutup rapat. Mereka mendesah kecewa dan dengan reflex Resta-pun mengecek handphone-nya yang ternyata masih belum mendapatkan sinyal.
“Apa menurutmu kita harus kembali ke Gaby? Mungkin dia dan Bobby bisa mencarikan jalan keluar…” ucap Loly takut-takut.
Resta mendesah, “Daripada mereka, aku lebih baik pergi mencari Ezky dan Limper. Aku yakin aku mendengar Ezky meminta Limper untuk melakukan sesuatu terhadap sistem orang gila itu…” ucap Resta. “Tapi… Ah, sudahlah. Kita cari jalan sendiri saja!” serunya ketus. Pikirnya, meski berada di ancaman kematian seperti ini, ia tidak mungkin mengemis pertolongan kepada orang-orang yang sering diejeknya.
Namun, kali ini Loly tidak langsung mengkuti langkah Resta. “Resta… menurutmu apakah sekarang orang tua kita sedang mengkhawatirkan kita. Bagaimanapun ini sudah gelap, kan?” ujar Loly dengan suara serak, sepertinya ia berusaha menahan air mata dan rasa takutnya.
“Heeei…” Resta menggenggam lengan Loly, “Jangan pesimis seperti itu. Kita pasti keluar dari sini,” ucap Resta, mencoba untuk mengucapkannya dengan tenang agar Loly tidak khawatir, meski ia sendiri merasa pesimis. “Lagipula, orang tua-ku tidak akan mencariku. Mereka tahu aku selalu pulang pagi dan mereka tidak peduli,” tambahnya dengan nada pahit.
Loly menggigit bibirnya, ia tahu penderitaan Resta dan orang tuanya yang tidak peduli dengannya dan adik-adiknya. Ia kemudian mendesah dan menggenggam lengan Resta, “Ayo, kita sama-sama keluar dari tempat ini!” secercah senyum muncul di wajah Loly.
Mereka kemudian kembali berjalan menyusuri lorong, mencoba sebisa mungkin agar menjauh dari jendela. Hari sudah gelap dan lampu-lampu sudah dimatikan, cahaya yang mereka dapat hanya berasal dari lampu sorot di luar gedung sekolah. Beberapa kali mereka menelan ludah ketika mencoba membuka pintu satu persatu, tetapi pintu-pintu kelas itu terkunci. Sampai akhirnya, mereka bernafas lega ketika salah satu pintu bisa dimasuki. Setidaknya jika bersembunyi di ruangan, mereka tidak harus berkeliaran di lorong dengan pembunuh yang mengincar mereka dari balik jendela.
Ternyata ruangan yang mereka masuki adalah laboratorium kimia. Gelas-gelas dan tabung reaksi bertebaran dimana-mana, ditambah bau alcohol dan spiritus yang menguar di udara. “Bau-nya seperti di rumah sakit…” komentar Loly sambil menutup hidung.
“Karena itukah kau selalu absen jika ada kelas kimia?” tanya Resta dengan nada sinis.
“Bukankah kau juga selalu absen?” mulut Loly mengerucut.
“Aku tidak pernah absen. Pak Jodi terlalu menawan untuk dilewatkan begitu saja,” Resta tersenyum menggoda dan mengerling kepada Loly. Pak Jody adalah guru pelajaran Kimia yang meski usianya tidak muda lagi masih terlihat tampan dan berkarisma.
“Errgh, bisa-bisanya kau bicara seperti itu di saat seperti ini…” keluhnya.
Ketika mereka terkikik, tiba-tiba terdengar suara berdebam yang sangat dekat, diikuti dengan suara menggesek seperti langkah kaki. Resta dan Loly saling bertatapan kemudian dengan reflex cepat-cepat merunduk di bawah meja. Mereka berpegangan tangan, terasa tangan Resta yang berkeringat dingin dan tangan Loly yang bergetar. Sebulir air mata menetes dari mata Loly dan lonjakan besar dari perutnya membuatnya merasa mual.
Suara bedebam itu semakin mendekat. Rasanya orang itu sedang memeriksa pintu satu persatu. Dan, akhirnya Resta dan Loly melihat secercah cahaya memasuki laboratorium, mereka menutup mulut erat-erat, keringat mengalir deras di pelipis mereka. Resta menarik Loly mendekat dan mendekapnya erat-erat. Nafas mereka semakin menegang ketika orang itu melangkah masuk. Tetapi, baru dua langkah, orang itu berhenti, melangkah mundur dan menutup pintunya. Kemudian, terdengar suara pintu terkunci dan langkah orang itu-pun menjauh.
Perlahan, Resta dan Loly mengangkat kepalanya. Jantung mereka masih berdebam dengan cepat, tubuh mereka basah oleh keringat dan nafas mereka memburu.
“Siapa… siapa itu tadi?” tanya Loly dengan suara tercekat.
“Entahlah… Yang pasti itu bukan salah satu dari teman-teman kita…” jawab Resta, ia berjalan perlahan-lahan mendekati pintu. Ia menelan ludah ketika mendapati pintu itu sekarang terkunci. “Karena teman-teman kita tidak mungkin punya kunci dan mengunci kita di sini. Itu pasti orang yang mengaku bernama Mortis itu.” Suara Resta tercekat dan nafas-nya putus-putus.
Mata Loly langsung berkaca-kaca dan tanpa bisa ditahan lagi air mata-nya tumpah. Ia terjerembap karena kakinya terasa lemas.
“Sssh, Loly… Aku takut orang itu masih di sini…” bisik Resta. Lalu perlahan ia merendahkan tubuhnya dan mendekatkan matanya ke lubang kunci. Ia mencoba memeriksa apakah si Mortis itu masih berada di sekitar mereka ketika ia menemukan seseorang balas menatapnya dari lubang kunci tersebut.
Semuanya berlangsung sangat cepat tanpa Resta sempat menghindar. Yang ia tahu selanjutnya adalah sebuah rasa perih yang menyakitkan menusuk mata kirinya dan lewat sudut mata kanannya ia bisa melihat darah yang menetes-netes. Ia meraung keras ketika darah mengalir semakin deras, mengalahkan suara teriakan Loly. Resta mencabut benda tajam dan dingin yang menusuk matanya dengan cepat, memberikan rasa sakit yang tidak terperi. Darah dari matanya mengalir, membasahi wajahnya dengan cairan merah kental yang berbau amis. Ia kembali meraung ketika tiba-tiba terdengar suara tembakan.
“Aarrrrkkkhh…” ia meraung ketika menyadari pintu laboratorium yang telah bolong dan darah yang merembes dari pinggangnya. Ia meraba pinggang sampingnya yang kini terluka dengan lingkaran besar. Nafasnya tercekat, darah juga menyembur dari mulutnya. Rasa sakit yang tak tertahankan itu menghilang ketika tubuhnya terjatuh dan terjerembab ke genangan darahnya sendiri.
“Aaaaa!! Restaaaaa!!!” Loly berteriak dari sudut laboratorium dan cepat-cepat menghampiri tubuh Resta. Dengan penglihatan yang kabur karena air mata-nya yang mengalir deras, ia bisa melihat wajah Resta yang kesakitan menjelang kematiannya, mata dan mulut Resta terbelalak dan isi perutnya menguar keluar. Dengan tangan bergetar ia menutup mata dan mulut Resta.
Dari belakang Loly kemudian terdengar suara tawa terkikik. Loly memang tidak bisa melihat sosoknya namun secara instingtif ia tahu ia harus berlari dengan cepat dan kabur dari tempat itu. Lari dari jangkauan si pembunuh.
Tergopoh-gopoh Loly berlari, sekuat tenaga menahan tubuhnya agar tetap tegak, menghapus air mata yang mengurangi pandangannya. Sayangnya, ia tidak cukup cepat karena ia tiba-tiba merasakan sentakan keras di punggungnya serta rasa terbakar yang menyengat. Selanjutnya, pelipisnya menghantam lantai dingin dan keras.
Nafasnya terputus-putus ketika ia mendengar si pembunuh memasuki laboratorium kimia dan mengelilinginya. Terdengar suara botol-botol yang berdentingan dan pecah terbanting. Rasa sakit yang menyelimuti tubuhnya sudah tak tertahankan lagi ketika dengan sudut matanya ia mendapati orang itu melangkah semakin mendekat kepadanya. Ia tidak bisa melihat wajahnya dan ia juga tidak punya tenaga untuk berpikir apapun saat ini. Yang dirasakan oleh Loly selanjutnya adalah panas membara yang membakar wajahnya dan seluruh tubuhnya. Perlahan nafasnya-pun menghilang.
Suara-suara tembakan yang menewaskan dua orang itu ternyata mengundang beberapa orang untuk bergabung. Mortis tersenyum ketika mendengar suara yang ia kenal berjalan cepat mendekat ke tempatnya berada sekarang. Ia tersenyum senang, merasa adrenalin menjalar di seluruh tubuhnya. Tetapi, ini bukan saatnya ia berhadapan langsung dengan orang-orang itu. Ia ingin kesenangan perburuan ini berlangsung lebih lama lagi. Oleh karena itu, secepat kilat ia menghilang dari tempat itu, memanfaatkan keadaan tanpa cahaya di lorong sekolah.
“Kau yakin kita harus pergi ke arah suara tembakan itu? Bagaimana jika pembunuh itu masih ada di sana?” tanya Lena dengan suara bergetar.
Sinta mengamini, “Benar kata Lena, Ky. Kita harus bersembunyi…”
“Dan kehilangan kesempatan untuk berhadapan langsung dengan orang yang mengaku bernama Mortis itu?” geram Ezky. “Tidak akan!” Ezky mempercepat langkahnya ketika mendapati satu pintu yang terbuka di ujung lorong. Ia menyuruh Lena dan Sinta menunggu sementara ia berlari menghampiri pintu terbuka itu. Sepatunya berdecit ketika ia berhenti di depan pintu terbuka itu dan mendapati lubang besar di tengah pintu. “Shit!”
Ezky memasuki laboratorium kimia dengan langkah perlahan ketika menyadari ada 2 tubuh yang tergeletak di dalamnya. Ia mengambil handphone-nya dan mulai menerangi ruangan di depannya. Tubuh yang pertama ia lihat ia kenali sebagai Resta. Tubuh itu terlentang dengan luka besar menganga di samping pinggang sebelah kiri-nya, memperlihatkan daging segar berwarna kemerahan, isi perut yang menguar dan darah yang menetes-netes dari tulangnya yang hancur. Ditambah dengan mata gadis itu yang tertusuk dengan sesuatu yang tipis, tajam dan berwarna keperakan.
Tubuh tergeletak yang satu lagi mempunyai luka yang hampir sama, namun di punggungnya. Dan, luka itu terlihat lebih mengenaskan daripada luka yang ada di tubuh Resta. Ezky berjalan semakin mendekat dan langsung menutup mulutnya ketika melihat wajah rusak gadis itu. Sepertinya wajah itu disiram oleh suatu cairan asam hingga membuatnya meleleh. Tetapi, dari perawakan dan model rambut, Ezky dapat mengenali bahwa tubuh itu adalah Loly.
“Ez… ky… “ suara Lena yang terbata-bata terdengar dari belakangnya.
“Jangan masuk!!” hentaknya sambil menengok ke belakang, melihat Lena dan Sinta yang terperangah di ambang pintu. Ezky berdiri dan berjalan cepat kea rah Lena, menutupi pemandangan di belakangnya dengan punggungnya.
“Mereka… Tubuh itu… Siapa? Bagaimana?” suara Lena bergetar ketika menanyakannya. Rupanya ia sempat melihat 2 tubuh yang tergeletak itu.
“Resta dan Loly…” jawab Ezky cepat, menatap lekat ke mata Lena. “Mereka tertembak dan tewas…”
Lena menarik nafas dan tubuhnya serasa lemas, ia mencengkram lengan Ezky untuk menopang dirinya. Ia menggelengkan kepalanya dan Ezky menariknya ke dalam pelukan. “Tidak… tidak mungkin…” bisiknya tak percaya.
“Tampaknya… yang Mortis maksud dengan bertahan hidup adalah… bertahan hidup dari kejarannya…” ucap Ezky.
“Maksudnya?” tanya Sinta.
Dengan pandangan nanar, Ezky melirik Sinta, “Maksudnya… Mortis adalah seorang pemburu dan kita adalah buruannya. Kita harus bisa bertahan hidup dari kejarannya…”
Kening Lena berkerut ketika mendengarnya, “Apa?”
Suara alarm yang seperti tadi tiba-tiba berbunyi nyaring mengisi kesunyian. Refleks mereka bertiga menutup kuping. Suara alarm itu berhenti dan terdengar-lah suara Mortis yang berdeham-deham, kemudian ia terkikik tinggi dan lalu tertawa terbahak-bahak. “Buahahaha…!! Tampaknya ada yang baru saja menyadari tujuan permainan ini! Aku kira kalian akan mengetahuinya sejak pertama!! Hahahaha!!” Ia tertawa lagi lalu menarik nafas panjang, “Ya, benar!!! Tujunku mengumpulkan kalian di sini adalah memburu kalian hingga ke neraka!!” serunya dengan penuh nada kebencian. Kemudian sunyi…
Lalu suara seperti mur berputar mengelilingi mereka dan dari setiap ruang kelas muncul secercah sinar dari proyektor yang memang ada di masing-masing kelas. Layar yang ada di depan kelas-pun perlahan-lahan terkembang dan menjadi wadah dari sinar proyektor tersebut. Lalu, di layar tersebut munculah nama “LOLY” dengan font besar dan ditulis dengan warna merah darah serta diiringi lagu anak-anak yang ceria.
“Film lain lagi?” bisik Lena, masih di pelukan Ezky, memancing Sinta menatap mereka berdua dengan tidak nyaman.
Film itu dibuka dengan senyum ceria Loly yang sedang memakan permen lollipop-nya, kesehariaannya bersama Gaby dan Resta, mulai dari bersenang-senang bareng di pusat perbelanjaan barang-barang mewah dan pesta-pesta. Di semua adegan terlihat Loly yang selalu riang gembira, bahkan ketika ia sedang menyiksa Heru. Dilihat dari angle-nya, semua itu diambil dari kamera jarak jauh dan sepertinya tersembunyi. Lalu, warna-warna cerah kehidupan Loly berubah muram ketika di layar tertera sebuah rumah yang cukup besar. Dari sudut salah satu jendela di rumah itu, terlihat Loly yang sedang dipukuli dan ditendang oleh seorang pria yang berbadan cukup besar. Loly memanggil pria itu dengan sebutan “Papa”, memintanya agar berhenti dengan terisak-isak dan air mata yang mengalir deras. Loly merangkak, namun hanya menemukan kaki lain, kali ini seorang wanita dan wanita itu menamparnya dengan keras. Setelah diludahi oleh pria itu, Loly ditinggal dalam keadaan terkapar dan sekujur tubuh penuh memar. Ia sedang meringkuk dan merintih sakit saat layar menunjukkan gambar hitam.
Lena dan Sinta terperangah dan meringis ketika melihat semua adegan kekerasan itu. Meskipun sering bersama dengan Gaby dan Resta, dan diketahui suka menindas Heru, Loly adalah gadis yang ceria. Ia selalu tersenyum dan tertawa terbahak-bahak jika ada kejadian lucu. Mereka semua tidak menyangka di balik keceriaan itu, Loly menerima penyiksaan seperti itu dari kedua orang tua-nya.
Langkah kaki yang menderu tiba-tiba terdengar dari ujung lorong. Sosok Gaby terlihat berlari menghampiri mereka, diikuti oleh Bobby di belakangnya. “Apa kalian melihat Loly? Kalian melihat Loly tidak?!?” teriaknya kencang sambil mencengkram lengan Lena dan Ezky.
“Gaby…” suara Sinta yang lemah mengiringi gerakan matanya menuju laboratorium kimia. Refleks Gaby mengikuti.
Mulut Gaby ternganga ketika melihat pemandangan 2 tubuh yang tergeletak bersimbah darah di lantai laboratorium. Dengan tertatih-tatih ia menghampiri tubuh pertama, ketika ia berbisik, “Resta…?” Proyektor itu kembali menderu.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar