Selasa, 30 September 2014

School Game : Interlude I

HERU

Ketika pertama kali menginjakkan kakinya ke sekolah ini, Heru merasa bersemangat. Sekolah baru dan kehidupan baru. Kali ini ia bertekad ia akan menghabiskan masa sekolahnya dengan menyenangkan, bertemu dengan teman-teman baru dan menjadi siswa berprestasi. Oleh karena itu, ia melangkahkan kakinya dengan pasti, menyapa semua orang dengan ramah meskipun mereka masih memandangnya canggung. Jelas orang-orang itu tidak terbiasa dengan ramah tamah.
Kota yang baru didatanginya ini memang terkenal dengan sikap individualistis yang tinggi. Tidak ada yang mau tahu urusan orang lain dan tidak ada yang peduli dengan urusan orang-orang di sekitar mereka. Justru karena itulah Heru meminta orang tua-nya untuk pindah ke sini ketika ia masuk ke sekolah menengah atas. Ayah-nya yang bekerja sebagai buruh bangunan sama sekali tidak keberatan karena di kota ini pembangunan gedung baru hampir terjadi setiap hari sementara Ibu-nya yang hanya seorang ibu rumah tangga biasa juga tidak mengajukan penolakan.
Di sinilah Heru berniat membangun hidupnya yang baru, berharap tidak ada lagi hal-hal tidak menyenangkan seperti yang ia alami di sekolah menengah pertama. Di mana semua orang seolah-olah mencampuri urusannya hanya karena ia anak yang berotak cukup cemerlang. Ya, di sini semua orang hanya peduli dengan urusan masing-masing, jadi ia juga hanya akan mengurusi urusannya sendiri.
Saat ia memasuki kelas, semuanya sedang bercengkrama. Ada beberapa gadis cantik berdiri di tengah-tengah kelas, menjadi pusat perhatian para anak laki-laki. Dan, salah satunya, yang berwajah paling cantik bagaikan boneka porcelain, meliriknya sekilas lalu memberikan senyum tipis. Cepat-cepat Heru mengalihkan pandangan, bersembunyi di balik kacamatanya yang buram.
Tetapi… siapa yang menyangka pandangannya yang sekilas bertemu dengan gadis porcelain itu adalah awal dirinya yang terjebak dalam lingkaran hitam yang tak berakhir.
Bermula dari belajar kelompok, gadis bernama Gaby dan dua temannya yang bernama Resta dan Loly mulai bersikap sangat ramah dan baik terhadapnya. Wajah Heru tidak bisa berhenti memerah ketika melihat Gaby tersenyum kepadanya. Apalagi ketika Gaby menatap matanya dan memegang tangannya ketika suatu hari Gaby meminta bantuannya untuk mengerjakan tugas. Heru tak kuasa menolak, ia hanya menganggukkan kepalanya.
Ya, itu permulaannya.
Selanjutnya bukan hanya tugas Gaby, Resta dan Loly yang dikerjakan oleh Heru, tetapi juga tugas Bobby, kapten klub basket dan juga kekasih Gaby. Ketika ia mulai muak dan melawan, Gaby kembali mengeluarkan senjatanya. Senyuman itu. Namun, Heru tetap menolak meskipun dengan takut-takut. Saat itulah sorot mata Gaby berubah.
Senyuman layaknya boneka porcelain itu menghilang, tidak ada lagi mata besar yang mengerjap-ngerjap memohon. Wajah Gaby masih tetap cantik, tetapi terlihat dingin dan mengintimidasi. Lalu, bersama dengan Loly dan Resta, ia menyeret Heru ke gudang belakang sekolah, melempar Heru ke tumpukan kardus yang berdebu.
Mata Heru terbelalak ketika Gaby mulai menampari dirinya dan merobek bajunya sendiri. Ia kemudian menarik tangan Heru dan mencakar lehernya dengan jari-jari Heru. Setetes darah merembes dari lehernya dan Gaby hanya tersenyum.
“A… a… apa yang kau lakukan?” tanya Heru tergagap.
Gaby mendekatkan wajahnya kepada Heru, “Bukan apa yang aku lakukan, sayang. Tapi, apa yang telah kau lakukan padaku?” Ia mengangkat dagu Heru hingga mata mereka bertemu. “Apa kata para guru ketika mereka tahu kau mencoba memperkosaku, Heru?” tanyanya dengan nada mengalun yang terdengar manis.
“Ta, tapi… a, aku… tidak…”
“Dan, siapa yang akan percaya kata-katamu Heru? Loly dan Resta melihatnya. Kau mencoba memperkosaku!” tegasnya lagi. Gaby melirik kepada teman-temannya yang mengangguk patuh.
Saat itulah Heru tahu bahwa ia telah terjatuh ke dalam jebakan tanpa dasar, jebakan mengerikan yang dirancang oleh gadis berwajah malaikat ini. Gaby telah memegang kendali penuh atas dirinya. Ia bagaikan mainan remote control yang hanya bisa bergerak atas perintah Gaby. Dan, hukuman apabila ia tidak patuh atas perintah itu adalah sama dengan neraka. Mulai saat itu, hidup Heru seperti berada dalam lorong udara yang gelap, ia terjebak selamanya di sana. Bahkan dalam kematiannya
            

Tidak ada komentar:

Posting Komentar