Selasa, 23 September 2014

School Game : Chapter 2

Game Start

 Suara yang berasal dari speaker itu terdengar melengking, hingga menimbulkan dengingan tak nyaman di kuping. Sepertinya orang yang berbicara di speaker itu menggunakan pengubah suara atau semacamnya karena suaranya terdengar seperti robot rusak. Semua pasang mata menatap speaker yang terletak di atas papan tulis hitam sebelum mereka semua saling bertatapan dengan bingung. Gaby dan Bobby beserta 2 minionnya masih tertawa-tawa canggung, tampaknya mereka hanya menganggap ini suatu lelucon bodoh. Sinta masih meringkuk di lantai sambil menutupi telinganya, Artha menatap jijik ke arah speaker seolah-olah speaker itu sedang berceloteh suatu hal yang bodoh, sementara Limper dan Ezky masih mengantisipasi hal yang mungkin akan terjadi.
Suara di speaker itu mulai cekikikan, “Hihihi, jangan anggap ini lelucon, teman-temanku. Ini suatu permainan yang akan menjadi sangat menyenangkan jika kalian bermain dengan benar,” ucapnya dengan nada mengejek. “Sebelumnya… aku akan memperkenalkan diriku…”

“Kami tidak butuh tahu siapa dirimu, keparat!! Lelucon ini sama sekali tidak lucu!!” seru Bobby ke arah speaker.
Seolah tidak mempedulikan apa yang dikatakan Bobby, suara di speaker itu meneruskan ocehannya. “Perkenalkan, namaku Mortis dan kalian adalah penerima pesan singkat yang terpilih olehku untuk mengikuti permainan ini,” ucapnya dengan nada seolah-olah ini semua hal yang menyenangkan.
Alis Lena berkerut ketika lagi-lagi ia mendengar kata “pesan singkat”. Ia menghampiri Ezky, “Apa yang dimaksudnya dengan pesan singkat, Ky? Kamu tahu sesuatu tentang ini, kan?” tanyanya mendesak, nafasnya mulai memburu dan ia merasa sedikit panik, apalagi dengan kondisi Sinta yang wajahnya semakin memucat.
Mortis kemudian tertawa dengan suara melengking, “Baiklah, karena ini adalah permainan maka harus ada peraturannya bukan. Lihat baik-baik di jendela kelas kalian!”
Serentak mereka menoleh ke arah jendela dan tersentak ketika ada kabut tipis yang berhembus. Ketika kabut itu perlahan menghilang, muncul tulisan tipis-tipis di kaca jendela. Semuanya menahan nafas tidak percaya ketika melihatnya. Dengan takut-takut Artha membacakan peraturan permainan yang berisikan sebagai berikut:

Peraturan Permainan:
1.     Tujuan permainan ini adalah bertahan hidup setelah alarm pertama berbunyi
2.     Perkataan Mortis adalah mutlak dan harus diikuti
3.     Jangan pernah berani berusaha keluar dari sekolah
4.     Melanggar peraturan berarti kematian

“Kyaaaaaa!! Aku mau pergi… aku mau pergi dari sini!! Lena, ayo kita pergi dari sini!! Ayoo!!” Sinta tiba-tiba meringkuk dan berteriak histeris serta mencengkram tangan Lena kuat-kuat.
“Sinta, tenang! Sinta!” Lena memegang lengan atas Sinta, berusaha menenangkannya.
“Ini… ini semua karena kalian…” tiba-tiba Heru bersuara lemah. Ia menunduk kaku, keringat dinginnya menetes-netes di lantai. Ia berjalan terseok-seok, menghampiri kerumunan yang berjajar di dekat jendela. Heru menengadahkan kepalanya, membuat wajah tirusnya yang pucat dengan mata terbelalak terpampang mengerikan. “Ini adalah karma yang kalian terima karena telah berbuat kejahatan!” serunya lagi. Tangannya yang terikat diangkatnya, memperlihatkan jari-jarinya yang kurus seperti ranting pohon kering. “Akhirnya… akhirnya… hanya akulah yang akan keluar dari sini karena aku adalah korban kalian!! Hahahaha…!!” Heru tertawa terbahak-bahak semakin mendekati jendela.
Peristiwa berikutnya membuat semua orang tercengang. Dimulai dengan Heru yang melangkah mendekati jendela dengan tawa melengking, seolah-olah ia akan dibebaskan. Tetapi, suara desingan dan lentingan menghentikan langkahnya. Yang selanjutnya terjadi adalah bunyi kaca yang tertembus disusul dengan darah yang perlahan menyembur dari bagian depan dan belakang leher Heru dan tubuh kurusnya yang perlahan terjatuh ke lantai keramik yang dingin.
Tubuh itu mengejang sebentar, seolah-olah memberikan waktu bagi pemilik tubuh untuk mengerti apa yang terjadi dengannya. Ketika kejangan itu berhenti, mata Heru terbelalak lebar, memperlihatkan urat-urat matanya yang memerah, mulutnya terbuka lebar dengan darah yang mengalir dari ujung bibirnya. Lantai seketika memerah, terwarna oleh darah yang merembes pelan dari leher Heru yang berlubang.
Detik-detik berikutnya, mereka sama sekali tidak bisa berteriak. Semua yang terjadi dengan Heru bagaikan adegan slow motion yang terekam dengan mengerikan. Gaby jatuh terduduk. Air mata Lena mengalir dalam diam, pita suaranya menolak bergetar untuk bersuara. Semuanya tidak percaya dengan apa yang barusan mereka lihat sampai kesadaran mereka kembali saat Loly dan Artha berteriak sangat kencang hingga mereka jatuh terduduk, merangkak ke balik meja. Terdengar umpatan-umpatan kasar keluar dari mulut Limper.
“Hahaha!!!” Mortis tertawa senang dari speaker. “Sungguh sangat menyenangkan!!” Ia terdengar sangat gembira. “Maaf, dia terlalu berisik dan menjijikkan. Makanya aku memutuskan untuk membunuhnya! Kalian juga senang, kan!?!”
“Kau sakit! Kau gila! Keluar dari persembunyianmu, Mortis!!” bentak Ezky sambil melempar kursi ke arah speaker.
“Hihihi…” tawanya melengking tinggi, “Apa kau tidak pernah bermain game? Apa menurutmu Game Master akan keluar dan menyapa para pemainnya? Tentu saja tidak bukan!!!” sentaknya bersamaan dengan suara bergemeretak yang nyaring. “Aku sudah mengunci semua akses jalan keluar. Tentu saja kartu akses tidak akan berfungsi. Jika kalian mencoba keluar dengan mendobrak jendela atau pintu, maka kalian akan mati! Seperi onggokan sampah itu dan penjaga sekolah yang sekarang sudah terbaring kaku di pos sempitnya! Mengikuti permainanku adalah satu-satunya pilihan!!! Hahahaha…”
Tawa Mortis yang menggelegar berbanding terbalik dengan kondisi mereka yang ada di ruang kelas. Mereka hanya bisa terdiam dan meskipun berusaha memalingkan wajah, pandangan mereka tidak bisa berpaling ke mayat Heru yang terbujur kaku dan masih hangat, bahkan darahnya masih merembes keluar dan membasahi lantai keramik. Belum lagi bau amis darah yang membuat mereka merasa mual dan ingin muntah.
Belum lagi rasa ngeri mereka hilang, projector yang berada di langit-langit ruang kelas tiba-tiba menyala. Mengeluarkan secercah sinar yang menerangi papan tulis hitam. Dari cahaya putih itu muncul tulisan “HERU” berwarna merah yang ditulis besar-besar. Kemudian gambar hitam putih muncul di layar perlahan-lahan. Layar itu menunjukkan foto profil Heru dalam ukuran besar, kemudian berganti menjadi gambar Heru di kelas yang menunjukkan wajah muram dan ketakutan. Film itu berlanjut ke sebuah lorong, kamera tampak mengikuti sosok Heru yang berjalan mengendap-ngendap di lorong menuju sebuah ruangan.
“Bukankah itu ruang ganti wanita?” ringis Artha ketika menyadari ruangan yang dituju oleh Heru.
Dari kejauhan kamera menangkap sosok Heru berlari ke lorong sempit di samping ruang ganti wanita. Kamera menggunakan fungsi zoom dan berhasil menangkap sosok Heru yang sedang menggeser kotak pemadam kebakaran. Kamera kemudian berganti angle dengan sangat kasar, kali ini menyorot Heru dari belakang. Terlihat Heru sedang mengintip di sebuah lubang yang mengeluarkan seberkas cahaya, tangan kirinya begerak-gerak di selangkangannya dan tangan kanannya sibuk memegang handphone-nya yang berkamera.
“Itu… menjijikkan…” gumam Lena tanpa sadar sambil menutup mulutnya. Sinta masih menangis tersedu-sedu di pelukannya.
“Inikah yang dimaksudkan pesan itu?” bisik Ezky, namun tidak cukup pelan hingga Lena dapat mendengarnya dan membuat Lena menarik tangannya hingga mata mereka saling beradu.
“Katakan, Ezky! Katakan apa yang kau maksud dengan pesan itu!!” hentaknya.
“Hoo, jadi kau tidak menerima pesan itu, Lena?” Gaby berjalan pelan mendekati Lena dengan pinggulnya yang digoyangkan dengan tidak wajar. “Jangan-jangan kaulah yang merencanakan semua ini!!!” bentaknya.
“Gaby, gunakan otakmu! Lena berada di sini bersama kita ketika Heru tertembak!” seru Limper sambil merogoh-rogoh kantongnya, tampak mencari sesuatu. Ia kemudian mengeluarkan satu gulungan kecil ganja dari kantongnya dan mulai menghisapnya dengan jari-jari bergetar.
“Siapa yang peduli soal isi pesan itu!! Ayo pergi dari sini!!” teriak Artha sambil meremas-remas jarinya. Sesekali ia menatap mayat Heru yang masih segar itu dan meringis mual.
“Iya, iya… Ayo kita pergi dari sini Lena… Aku mohon…” isak Sinta.
Seolah-olah tidak peduli dengan segala suara yang menyudutkannya, Lena kembali mendesak Ezky untuk memberitahukan isi pesan yang diterimanya. “Ezky, beri tahu aku apa isi pesannya!”
“Kau tidak perlu tahu, Lena!” Ezky balas membentak, cukup keras hingga Lena melangkah mundur sambil menggigit bibirnya.
“Jika kau mau tahu apa isi pesan itu kau bisa melihatnya dari handphone-ku, Lena…” ujar Gaby sambil menjulurkan handphone-nya kepada Lena. “Atau, kau hanya berpura-pura ingin tahu padahal sebenarnya kaulah yang mengirimkan pesan itu?” Gaby menaikkan alisnya dan menatap Lena dengan angkuh.
“Aku tidak tahu isi pesan itu. Pesan itu juga bukan dikirimkan olehku,” ucap Lena tenang, memandang tidak kalah tajam kepada Gaby. Ia kemudian menyambar handphone dari uluran tangan Gaby, cukup cepat hingga Ezky tidak sempat mencegahnya. Dengan jari bergetar ia membuka pesan yang dikirimkan oleh nomor tidak dikenal itu. Di sana tertulis:

Datanglah ke sekolah pada pukul 6 sore ini sebelum rahasiamu tersebar dengan kematianmu.

Selesai membaca pesan itu Lena melayangkan pandangan ke teman-temannya satu persatu. “Jadi kalian semua datang ke sini sekarang adalah karena pesan ini?” tanyanya tidak percaya. Ia lalu menunduk dan bertanya pada Sinta, “Kau juga?” dan Sinta mengangguk.
Gaby menarik handphonenya dari genggaman Lena, “Ya, kita semua mendapat pesan itu kecuali kau Lena! Gadis baik… tidak punya apapun untuk dirahasiakan…” ujarnya sinis. Ia kemudian berbalik sambil mengibaskan rambutnya hingga menerpa wajah Lena. “Ayo pergi dari sini!!”
“Tunggu!” teriak Ezky. “Jika aku jadi kau, aku tidak akan melangkahkan kaki keluar dari ruangan ini…” geramnya.
“Tapi, Ezky… pintu kelas tidak terkunci dengan kunci elektronik karena guru khawatir akan disalahgunakan. Kita bebas untuk pergi,” timpal Limper. “Kita harus pergi dari sini… Aku yakin pasti ada jalan keluar…” desisnya sambil terus mengisap rokoknya yang setipis garis.
“Tunggu…” Ezky menepuk bahu Limper, “Apa kau sudah mencoba menelepon seseorang?” tanyanya.
“Aku sudah mencoba menelepon sejak aku mendengar suara Mortis. Tapi tidak bisa…” bisiknya dengan nada khawatir.
Alis Ezky mengkerut, “Apa? Jangan bilang kalau…”
“Ya, aku rasa Mortis melakukan semacam pengacak atau penghalang sinyal telepon. Dia lebih cerdas dari dugaanku.”
Ezky menghela nafas, melirik ke arah Lena yang sedang membantu Sinta untuk berdiri. Ia mendekat ke arah Limper dan berbisik sepelan yang ia bisa, ia merasa dinding bahkan mempunyai telinga sekarang. “Dengar, menghubungi seseorang di luar sana mungkin satu-satunya cara untuk keluar dari tempat ini tanpa terbunuh. Apakah kau bisa menerobosnya?”
Mereka saling bertatapan, mata mereka mengunci satu sama lain. Limper berdeham, “Akan kuusahakan sebisaku dan kau… kau harus mencari jalan keluar dari neraka ini!” serunya sambil menunjuk wajah Ezky.
Sekali lagi Ezky melirik ke arah Lena dan kembali menatap Limper, “Aku pasti akan mencari jalan keluar! Pasti!”
Limper mengangguk mengerti. Ia lalu mengeluarkan laptop dari tas ransel-nya dan berlari keluar. Ia harus pergi ke ruang computer di mana ada akses dari jaringan kabel. Jika Mortis bisa mengacak atau menghalangi sinyal, sudah pasti tidak ada akses internet dengan menggunakan wifi. Satu-satunya cara terhubung ke dunia luar adalah dengan jaringan kabel. Ada resikonya, tapi ini patut dicoba. Risiko sebesar apapun tidak akan ada yang mengalahkan risiko kematian.
Begitu Limper pergi keluar Ezky menghampiri Lena yang sedang berjalan pelan sambil memeluk Sinta. Ia melihat mayat Heru sekilas dan menunduk untuk menutup matanya yang terbuka. Dengan pelan ia bergumam, “Sudah waktunya…”
Lena menanggapi dengan anggukan, “Ya, sudah waktunya. Ayo kita pergi dari sini…” Namun, Lena langsung menghentikan langkahnya ketika menyadari sesuatu. “Tunggu sebentar. Kemana yang lainnya?”
Sigap, Ezky berbalik dan mendapati ruang kelas itu kosong. Hanya tinggal mereka bertiga dan tubuh Heru yang tergeletak bersimbah darah. Ia saling bertatapan dengan Lena, mereka mengerti bahwa mereka sendirian sekarang. Sendirian untuk bertahan hidup

Tidak ada komentar:

Posting Komentar