Game Start
Suara yang berasal dari speaker itu terdengar
melengking, hingga menimbulkan dengingan tak nyaman di kuping. Sepertinya orang
yang berbicara di speaker itu menggunakan pengubah suara atau semacamnya karena
suaranya terdengar seperti robot rusak. Semua pasang mata menatap speaker yang
terletak di atas papan tulis hitam sebelum mereka semua saling bertatapan
dengan bingung. Gaby dan Bobby beserta 2 minionnya masih tertawa-tawa canggung,
tampaknya mereka hanya menganggap ini suatu lelucon bodoh. Sinta masih
meringkuk di lantai sambil menutupi telinganya, Artha menatap jijik ke arah
speaker seolah-olah speaker itu sedang berceloteh suatu hal yang bodoh,
sementara Limper dan Ezky masih mengantisipasi hal yang mungkin akan terjadi.
Suara
di speaker itu mulai cekikikan, “Hihihi, jangan anggap ini lelucon,
teman-temanku. Ini suatu permainan yang akan menjadi sangat menyenangkan jika
kalian bermain dengan benar,” ucapnya dengan nada mengejek. “Sebelumnya… aku
akan memperkenalkan diriku…”
“Kami
tidak butuh tahu siapa dirimu, keparat!! Lelucon ini sama sekali tidak lucu!!”
seru Bobby ke arah speaker.
Seolah
tidak mempedulikan apa yang dikatakan Bobby, suara di speaker itu meneruskan
ocehannya. “Perkenalkan, namaku Mortis dan kalian adalah penerima pesan singkat
yang terpilih olehku untuk mengikuti permainan ini,” ucapnya dengan nada
seolah-olah ini semua hal yang menyenangkan.
Alis
Lena berkerut ketika lagi-lagi ia mendengar kata “pesan singkat”. Ia
menghampiri Ezky, “Apa yang dimaksudnya dengan pesan singkat, Ky? Kamu tahu
sesuatu tentang ini, kan?” tanyanya mendesak, nafasnya mulai memburu dan ia
merasa sedikit panik, apalagi dengan kondisi Sinta yang wajahnya semakin
memucat.
Mortis
kemudian tertawa dengan suara melengking, “Baiklah, karena ini adalah permainan
maka harus ada peraturannya bukan. Lihat baik-baik di jendela kelas kalian!”
Serentak
mereka menoleh ke arah jendela dan tersentak ketika ada kabut tipis yang
berhembus. Ketika kabut itu perlahan menghilang, muncul tulisan tipis-tipis di
kaca jendela. Semuanya menahan nafas tidak percaya ketika melihatnya. Dengan
takut-takut Artha membacakan peraturan permainan yang berisikan sebagai
berikut:
Peraturan Permainan:
1.
Tujuan permainan ini adalah bertahan
hidup setelah alarm pertama berbunyi
2.
Perkataan Mortis adalah mutlak dan harus
diikuti
3.
Jangan pernah berani berusaha keluar dari
sekolah
4.
Melanggar peraturan berarti kematian
“Kyaaaaaa!!
Aku mau pergi… aku mau pergi dari sini!! Lena, ayo kita pergi dari sini!!
Ayoo!!” Sinta tiba-tiba meringkuk dan berteriak histeris serta mencengkram
tangan Lena kuat-kuat.
“Sinta,
tenang! Sinta!” Lena memegang lengan atas Sinta, berusaha menenangkannya.
“Ini…
ini semua karena kalian…” tiba-tiba Heru bersuara lemah. Ia menunduk kaku,
keringat dinginnya menetes-netes di lantai. Ia berjalan terseok-seok,
menghampiri kerumunan yang berjajar di dekat jendela. Heru menengadahkan
kepalanya, membuat wajah tirusnya yang pucat dengan mata terbelalak terpampang
mengerikan. “Ini adalah karma yang kalian terima karena telah berbuat
kejahatan!” serunya lagi. Tangannya yang terikat diangkatnya, memperlihatkan
jari-jarinya yang kurus seperti ranting pohon kering. “Akhirnya… akhirnya…
hanya akulah yang akan keluar dari sini karena aku adalah korban kalian!!
Hahahaha…!!” Heru tertawa terbahak-bahak semakin mendekati jendela.
Peristiwa
berikutnya membuat semua orang tercengang. Dimulai dengan Heru yang melangkah
mendekati jendela dengan tawa melengking, seolah-olah ia akan dibebaskan.
Tetapi, suara desingan dan lentingan menghentikan langkahnya. Yang selanjutnya
terjadi adalah bunyi kaca yang tertembus disusul dengan darah yang perlahan menyembur
dari bagian depan dan belakang leher Heru dan tubuh kurusnya yang perlahan
terjatuh ke lantai keramik yang dingin.
Tubuh
itu mengejang sebentar, seolah-olah memberikan waktu bagi pemilik tubuh untuk
mengerti apa yang terjadi dengannya. Ketika kejangan itu berhenti, mata Heru
terbelalak lebar, memperlihatkan urat-urat matanya yang memerah, mulutnya
terbuka lebar dengan darah yang mengalir dari ujung bibirnya. Lantai seketika
memerah, terwarna oleh darah yang merembes pelan dari leher Heru yang
berlubang.
Detik-detik
berikutnya, mereka sama sekali tidak bisa berteriak. Semua yang terjadi dengan
Heru bagaikan adegan slow motion yang terekam dengan mengerikan. Gaby jatuh
terduduk. Air mata Lena mengalir dalam diam, pita suaranya menolak bergetar
untuk bersuara. Semuanya tidak percaya dengan apa yang barusan mereka lihat sampai
kesadaran mereka kembali saat Loly dan Artha berteriak sangat kencang hingga
mereka jatuh terduduk, merangkak ke balik meja. Terdengar umpatan-umpatan kasar
keluar dari mulut Limper.
“Hahaha!!!”
Mortis tertawa senang dari speaker. “Sungguh sangat menyenangkan!!” Ia
terdengar sangat gembira. “Maaf, dia terlalu berisik dan menjijikkan. Makanya
aku memutuskan untuk membunuhnya! Kalian juga senang, kan!?!”
“Kau
sakit! Kau gila! Keluar dari persembunyianmu, Mortis!!” bentak Ezky sambil
melempar kursi ke arah speaker.
“Hihihi…”
tawanya melengking tinggi, “Apa kau tidak pernah bermain game? Apa menurutmu
Game Master akan keluar dan menyapa para pemainnya? Tentu saja tidak bukan!!!”
sentaknya bersamaan dengan suara bergemeretak yang nyaring. “Aku sudah mengunci
semua akses jalan keluar. Tentu saja kartu akses tidak akan berfungsi. Jika
kalian mencoba keluar dengan mendobrak jendela atau pintu, maka kalian akan
mati! Seperi onggokan sampah itu dan penjaga sekolah yang sekarang sudah
terbaring kaku di pos sempitnya! Mengikuti permainanku adalah satu-satunya
pilihan!!! Hahahaha…”
Tawa
Mortis yang menggelegar berbanding terbalik dengan kondisi mereka yang ada di
ruang kelas. Mereka hanya bisa terdiam dan meskipun berusaha memalingkan wajah,
pandangan mereka tidak bisa berpaling ke mayat Heru yang terbujur kaku dan
masih hangat, bahkan darahnya masih merembes keluar dan membasahi lantai
keramik. Belum lagi bau amis darah yang membuat mereka merasa mual dan ingin
muntah.
Belum
lagi rasa ngeri mereka hilang, projector yang berada di langit-langit ruang
kelas tiba-tiba menyala. Mengeluarkan secercah sinar yang menerangi papan tulis
hitam. Dari cahaya putih itu muncul tulisan “HERU” berwarna merah yang ditulis
besar-besar. Kemudian gambar hitam putih muncul di layar perlahan-lahan. Layar
itu menunjukkan foto profil Heru dalam ukuran besar, kemudian berganti menjadi
gambar Heru di kelas yang menunjukkan wajah muram dan ketakutan. Film itu
berlanjut ke sebuah lorong, kamera tampak mengikuti sosok Heru yang berjalan
mengendap-ngendap di lorong menuju sebuah ruangan.
“Bukankah
itu ruang ganti wanita?” ringis Artha ketika menyadari ruangan yang dituju oleh
Heru.
Dari
kejauhan kamera menangkap sosok Heru berlari ke lorong sempit di samping ruang
ganti wanita. Kamera menggunakan fungsi zoom dan berhasil menangkap sosok Heru
yang sedang menggeser kotak pemadam kebakaran. Kamera kemudian berganti angle
dengan sangat kasar, kali ini menyorot Heru dari belakang. Terlihat Heru sedang
mengintip di sebuah lubang yang mengeluarkan seberkas cahaya, tangan kirinya
begerak-gerak di selangkangannya dan tangan kanannya sibuk memegang
handphone-nya yang berkamera.
“Itu…
menjijikkan…” gumam Lena tanpa sadar sambil menutup mulutnya. Sinta masih
menangis tersedu-sedu di pelukannya.
“Inikah
yang dimaksudkan pesan itu?” bisik Ezky, namun tidak cukup pelan hingga Lena
dapat mendengarnya dan membuat Lena menarik tangannya hingga mata mereka saling
beradu.
“Katakan,
Ezky! Katakan apa yang kau maksud dengan pesan itu!!” hentaknya.
“Hoo,
jadi kau tidak menerima pesan itu, Lena?” Gaby berjalan pelan mendekati Lena
dengan pinggulnya yang digoyangkan dengan tidak wajar. “Jangan-jangan kaulah
yang merencanakan semua ini!!!” bentaknya.
“Gaby,
gunakan otakmu! Lena berada di sini bersama kita ketika Heru tertembak!” seru Limper
sambil merogoh-rogoh kantongnya, tampak mencari sesuatu. Ia kemudian
mengeluarkan satu gulungan kecil ganja dari kantongnya dan mulai menghisapnya
dengan jari-jari bergetar.
“Siapa
yang peduli soal isi pesan itu!! Ayo pergi dari sini!!” teriak Artha sambil
meremas-remas jarinya. Sesekali ia menatap mayat Heru yang masih segar itu dan
meringis mual.
“Iya,
iya… Ayo kita pergi dari sini Lena… Aku mohon…” isak Sinta.
Seolah-olah
tidak peduli dengan segala suara yang menyudutkannya, Lena kembali mendesak Ezky
untuk memberitahukan isi pesan yang diterimanya. “Ezky, beri tahu aku apa isi
pesannya!”
“Kau
tidak perlu tahu, Lena!” Ezky balas membentak, cukup keras hingga Lena
melangkah mundur sambil menggigit bibirnya.
“Jika
kau mau tahu apa isi pesan itu kau bisa melihatnya dari handphone-ku, Lena…”
ujar Gaby sambil menjulurkan handphone-nya kepada Lena. “Atau, kau hanya
berpura-pura ingin tahu padahal sebenarnya kaulah yang mengirimkan pesan itu?”
Gaby menaikkan alisnya dan menatap Lena dengan angkuh.
“Aku
tidak tahu isi pesan itu. Pesan itu juga bukan dikirimkan olehku,” ucap Lena
tenang, memandang tidak kalah tajam kepada Gaby. Ia kemudian menyambar
handphone dari uluran tangan Gaby, cukup cepat hingga Ezky tidak sempat
mencegahnya. Dengan jari bergetar ia membuka pesan yang dikirimkan oleh nomor
tidak dikenal itu. Di sana tertulis:
Datanglah ke sekolah pada pukul 6 sore
ini sebelum rahasiamu tersebar dengan kematianmu.
Selesai
membaca pesan itu Lena melayangkan pandangan ke teman-temannya satu persatu.
“Jadi kalian semua datang ke sini sekarang adalah karena pesan ini?” tanyanya
tidak percaya. Ia lalu menunduk dan bertanya pada Sinta, “Kau juga?” dan Sinta
mengangguk.
Gaby
menarik handphonenya dari genggaman Lena, “Ya, kita semua mendapat pesan itu
kecuali kau Lena! Gadis baik… tidak punya apapun untuk dirahasiakan…” ujarnya
sinis. Ia kemudian berbalik sambil mengibaskan rambutnya hingga menerpa wajah
Lena. “Ayo pergi dari sini!!”
“Tunggu!”
teriak Ezky. “Jika aku jadi kau, aku tidak akan melangkahkan kaki keluar dari
ruangan ini…” geramnya.
“Tapi,
Ezky… pintu kelas tidak terkunci dengan kunci elektronik karena guru khawatir
akan disalahgunakan. Kita bebas untuk pergi,” timpal Limper. “Kita harus pergi
dari sini… Aku yakin pasti ada jalan keluar…” desisnya sambil terus mengisap
rokoknya yang setipis garis.
“Tunggu…”
Ezky menepuk bahu Limper, “Apa kau sudah mencoba menelepon seseorang?”
tanyanya.
“Aku
sudah mencoba menelepon sejak aku mendengar suara Mortis. Tapi tidak bisa…” bisiknya
dengan nada khawatir.
Alis
Ezky mengkerut, “Apa? Jangan bilang kalau…”
“Ya,
aku rasa Mortis melakukan semacam pengacak atau penghalang sinyal telepon. Dia
lebih cerdas dari dugaanku.”
Ezky
menghela nafas, melirik ke arah Lena yang sedang membantu Sinta untuk berdiri.
Ia mendekat ke arah Limper dan berbisik sepelan yang ia bisa, ia merasa dinding
bahkan mempunyai telinga sekarang. “Dengar, menghubungi seseorang di luar sana
mungkin satu-satunya cara untuk keluar dari tempat ini tanpa terbunuh. Apakah
kau bisa menerobosnya?”
Mereka
saling bertatapan, mata mereka mengunci satu sama lain. Limper berdeham, “Akan
kuusahakan sebisaku dan kau… kau harus mencari jalan keluar dari neraka ini!”
serunya sambil menunjuk wajah Ezky.
Sekali
lagi Ezky melirik ke arah Lena dan kembali menatap Limper, “Aku pasti akan
mencari jalan keluar! Pasti!”
Limper
mengangguk mengerti. Ia lalu mengeluarkan laptop dari tas ransel-nya dan
berlari keluar. Ia harus pergi ke ruang computer di mana ada akses dari
jaringan kabel. Jika Mortis bisa mengacak atau menghalangi sinyal, sudah pasti
tidak ada akses internet dengan menggunakan wifi. Satu-satunya cara terhubung
ke dunia luar adalah dengan jaringan kabel. Ada resikonya, tapi ini patut
dicoba. Risiko sebesar apapun tidak akan ada yang mengalahkan risiko kematian.
Begitu
Limper pergi keluar Ezky menghampiri Lena yang sedang berjalan pelan sambil
memeluk Sinta. Ia melihat mayat Heru sekilas dan menunduk untuk menutup matanya
yang terbuka. Dengan pelan ia bergumam, “Sudah waktunya…”
Lena
menanggapi dengan anggukan, “Ya, sudah waktunya. Ayo kita pergi dari sini…”
Namun, Lena langsung menghentikan langkahnya ketika menyadari sesuatu. “Tunggu
sebentar. Kemana yang lainnya?”
Sigap, Ezky berbalik dan mendapati ruang kelas
itu kosong. Hanya tinggal mereka bertiga dan tubuh Heru yang tergeletak
bersimbah darah. Ia saling bertatapan dengan Lena, mereka mengerti bahwa mereka
sendirian sekarang. Sendirian untuk bertahan hidup
Tidak ada komentar:
Posting Komentar