Selasa, 16 September 2014

School Game : Chapter 1.1

Choose Your Player (Part 1)


Sekolah pagi ini terlihat menyenangkan, matahari yang sinarnya terpantul di jendela-jendela kelas juga bersinar sangat cerah. Terlihat siswa-siswi yang sedang bersenda gurau saling menyapa dengan guru-guru yang tersenyum ramah dan bahkan penjaga sekolah mengucapkan selamat pagi dengan senyuman. Selain itu, dari pengeras suara terdengar guru-guru yang mengumumkan bahwa dalam waktu 15 menit pintu gerbang akan terkunci secara otomatis.
Sekolah menengah atas ini baru saja memasang sistem keamanan baru beberapa minggu yang lalu. Sistem keamanan yang bisa dibilang sangat canggih untuk ukuran sekolah. Mereka menggunakan sistem elektronik untuk mengunci pintu gerbang dan jendela-jendela. Menurut kepala sekolah, sistem keamanan baru itu diberlakukan untuk mencegah murid-murid pergi ke luar saat jam sekolah.
Di gymnasium, seorang gadis dengan pipi merah serta pelipis yang berkeringat sedang berlatih senam ritmik, rambutnya yang panjang kecoklatan diikat ke atas dan berkibar lembut ketika ia melompat-lompat di atas matras. Dari pintu masuk gymnasium, seorang cowok dengan penampilan urakan dan rambut berantakan memperhatikannya. Ia meletakkan sebuah tas di lantai dengan kasar.
“Lena!! Mau latihan sampai kapan?? Kita hampir masuk!” serunya galak.
Si gadis menghentikan gerakannya, memandang pria bermata tajam dan berambut gelap berantakan serta kulit putih pucat yang berada di depannya. “Aku tahu, Ezky! Kau duluan sana!” serunya kesal karena kegiatannya dihentikan.
Dengan decakan kesal, Ezky melangkah keluar dari gymnasium. Kalau saja tadi Lena tidak menitipkan tas kepadanya, ia pasti sudah pergi ke gudang belakang untuk bersantai sebelum masuk kelas. Tiba-tiba, terdengar suara mendesah dari arah tempat penyimpanan alat-alat olahraga. Sudah rahasia umum kalau tempat itu adalah tempat para pasangan untuk
‘menyendiri’.
“Ah, Bobby… Jangan terlalu cepat, aku tidak bisa menahan suaraku…” desah sang gadis, ia berbisik namun suaranya masih terdengar.
“Tenang, Gaby. Jam segini tidak akan ada yang lewat daerah sini,” ucap sang pria.
Ezky hanya memutar mata dan berjalan tidak peduli.
“Eerrgh…” seru seseorang yang tiba-tiba berjalan di sampingnya. “Mereka berdua terlalu menjijikkan!” serunya lagi sambil bergidik.
“Hai, Limper… Sudah full charge pagi ini?” tanya Ezky dengan nada santai.
Certified fresh! Hehehe…” cengir cowok kurus dengan lingkaran mata gelap itu. Ia mengacak-ngacak rambutnya yang sedikit panjang dan berminyak itu. Beberapa helai yang menempel di pipinya yang tirus ia tiup menjauh.
Ketika mereka berdua berjalan melewati lorong, seperti ada aturan tidak tertulis bahwa mereka berdua harus dihindari. Sudah menjadi rahasia umum kalau Limper adalah seorang pecandu, seseorang yang harus dihindari di sekolah ini. Padahal Limper sebenarnya hanya menghisap ganja, ia tidak pernah sekalipun memakai obat-obatan terlarang. Menurutnya ganja bisa memberikannya kesenangan dan meringankan otak, sesuatu yang ia perlukan karena apa yang dikerjakannya saat ini cukup berat bagi otaknya yang jenius.
Sementara itu Ezky terkenal sebagai pembuat onar. Ia baru pindah ke sekolah ini kurang lebih sebulan yang lalu. Tapi, ia sudah menyebabkan masalah dengan Pak Hendy, guru paling terkenal di sekolah itu, di kelas kerjanya hanya tidur dan ia juga sering membolos. Berbeda sekali dengan Lena yang masuk ke sekolah itu bersamaan dengannya.
Begitu mereka berdua memasuki kelas dan disambut oleh seorang gadis berkacamata yang rambutnya dikuncir dua. Mata gadis itu benar-benar besar, sehingga terkadang Ezky merasa harus menghindari tatapan gadis itu. “Se, se, selamat pagi, Ezky. Apakah kau melihat Lena?” tanyanya gugup dengan suara yang melengking tinggi, namun matanya yang besar tidak bisa lepas dari wajah Ezky.
“Dia masih di gymnasium,” jawab Ezky dingin sambil melewati gadis itu begitu saja.
“Ba, baiklah, kalau begitu biar Sinta menyusulnya…” Gadis itu kemudian berlari pergi dengan kuncirnya yang bergoyang-goyang.
“Ezky… Limper…” suara seorang gadis memanggil mereka berdua. Gadis itu terlihat cantik dengan wajah angkuhnya yang memelototi Ezky dan Limper. Rambutnya yang sependek kerah kemeja seragam sekolah dipotong rapih dan rata. Penampilannya seragamnya sangat licin dan tanpa cela. Benar-benar murid teladan. “Tolong kecilkan suara musik kalian, itu sangat mengganggu!” serunya galak, lalu kembali duduk di bangkunya.
“Sial! Pagi-pagi sudah kena damprat Artha! Bakal bad luck seharian, niih. Hihihi…” Limper hanya cengar-cengir sambil mencabut earphone yang ada di telinganya.
Dari sudut matanya, Ezky bisa melihat seorang pemuda kurus berkacamata yang meringkuk di atas mejanya. Pemuda itu terlihat ringkih dan selalu merunduk, kakinya terlihat gemetar dan tak nyaman.
Lalu, ia melihat 2 orang gadis dengan dandanan mencolok sedang bergosip di meja depan. Satu gadis berambut panjang ikal kecoklatan, wajahnya lonjong dengan mata kucing yang membuatnya tampak terlihat selalu marah. Itu Resta dan ia sedang bersama dengan Loly, gadis dengan mata bulat besar yang selalu membawa lollipop kemanapun, rambutnya yang berponi membuat ia terlihat imut dan kekanak-kanakan.
Melihat itu Ezky berpikir, tampaknya keadaan cukup aman pagi ini, mungkin karena Gaby sedang sibuk bersama Bobby di gudang belakang jadi 2 minionnya yang bernama Loly dan Resta tidak berniat mengganggu si kacamata bernama Heru itu.
Tepat beberapa detik sebelum bel masuk berbunyi, Lena melangkah masuk kelas bersama Sinta, gadis kecil berkuncir dua yang tadi menyusulnya ke gymnasium. Ia memang selalu mengikuti kemanapun Lena pergi.
Lalu seorang gadis cantik berkulit putih dengan wajah lonjong dan rambut lurus kemerahan bersama dengan seorang pemuda tampan dengan rahang tegas dan otot yang menyembul di balik lengan pendek seragamnya memasuki kelas sambil berpegangan tangan. Itu Gaby dan Bobby. Pasangan paling populer di sekolah. Gaby merapikan seragamnya yang ketat lalu mengusap bibir Bobby dan tersenyum penuh arti. Begitu guru memasuki kelas, Ezky menundukkan kepalanya dan tertidur. Ia harus melakukan sesuatu yang besar malam ini, jadi waktu istirahat sangat berharga.     
***

        Waktunya istirahat memang menyenangkan untuk sebagian besar murid, mereka bisa pergi ke kantin untuk makan siang atau sedikit berolah raga di lapangan basket atau bahkan hanya sekedar bercengkrama dengan teman-teman. Intinya, waktu istirahat digunakan sebaik-baiknya untuk mengistirahatkan otak mereka yang terbakar karena terlalu lama berkutat dengan buku-buku tebal serta rumus-rumus tidak berguna. Saat istirahat jugalah para pemain yang sudah ditentukan, mendapat sebuah pesan singkat di telepon mereka.
Limper yang sedang memainkan jari-jarinya dengan lincah di atas keyboard laptop-nya, merasa terganggu dengan bunyi pesan masuk di telepon selular-nya. Ia menunda untuk melihatnya, baginya apa yang dia lakukan sekarang lebih penting daripada lelucon-lelucon bodoh yang sering dikirimkan teman-temannya ketika mereka teler. Di layar laptop-nya tertera denah cetak biru sekolahnya, ia mencoba menelaah setiap ruang yang ada di sekolahnya. Menurutnya sekolah ini sedikit menarik karena berbentuk gedung tinggi dan semua ruangan diberi jendela yang menghadap keluar. Karena berbentuk gedung maka terdapat banyak lorong-lorong sempit. Sekolahnya menjadi lebih mengasyikkan ketika tiba-tiba mereka memasang system keamanan elektronik untuk pintu gerbang utama sekolah. Ia tersenyum ketika cetak biru di depannya menjadi gambar tiga dimensi.
Di sudut lain sekolah terdapat ruang musik, yang memang sengaja dibuat terpencil di sudut agak tersembunyi karena tidak kedap suara. Samar-samar terdengar suara biola yang mengalun merdu yang tiba-tiba terhenti karena suara lain yang cukup mengganggu. Artha melirik handphone-nya dengan kesal karena berbunyi ketika ia sedang berlatih biola. Ia langsung menyesal karena lupa membuatnya dalam silent mode. Bagi Artha, berlatih biola seperti ini justru lebih penting daripada pergaulan atau pelajaran sekolahnya. Siapa yang berani-beraninya mengirim sms ketika ia sedang berlatih? Merasa konsentrasinya sudah buyar karena bunyi handphone, Artha menghampiri dan membacanya. Alisnya bertaut bingung ketika membaca pesan dari ‘unknown number’ itu.
Sementara itu di gudang sekolah, Loly sedang berusaha mengangkat ember berisi air ketika handphone-nya berbunyi dan berkedap-kedip di saku baju seragamnya. Dengan susah payah ia berusaha mengambil handphone-nya hingga air-nya tumpah-tumpah dan membuat genangan. Loly meringis ketika air itu juga mengenai sepatu mahalnya. Itu membuatnya dibentak oleh Gaby dan menyuruh Loly untuk membawa ember berisi air itu lebih cepat. Resta mengkomentari kebodohan Loly dengan seringai sinis dan berbisik kepada Gaby bahwa Loly tidak kuat mengangkat ember itu karena lebam-lebam di lengannya, tapi sepertinya Gaby tidak peduli.
Saat itu, handphone Gaby dan Resta berbunyi, mereka juga menerima pesan singkat. Namun, karena nomor pengirim pesan singkat itu tidak tertera di layar, mereka tidak mempedulikannya. Pandangan ketiga gadis itu kemudian beralih ke sosok pria kurus berkacamata yang terduduk lemas di lantai, kepalanya basah oleh lumpur, ia tampak tidak punya tenaga untuk bergerak sedikit-pun. Dari kantong pria kurus itu terdengar bunyi tanda pesan singkat yang masuk.
Di lapangan olahraga, Bobby menghentikan langkah berlarinya ketika terdengar bunyi tanda pesan masuk ke handphonenya. Setelah memberi lambaian tangan kepada beberapa gadis yang meneriakkan namanya penuh kekaguman, ia kemudian berjalan ke pinggir lapangan, menghindari teman-temannya yang sedang berlari dan mengoper bola basket.
Bobby cepat-cepat membuka handphone-nya karena mengira itu pesan singkat dari Gaby atau mungkin dari orang lain yang memang sudah ia tunggu-tunggu. Bobby mendesah kecewa ketika layarnya menunjukkan “unknown number” lalu dengan malas ia membuka pesan itu dan mengerutkan alis tidak mengerti ketika membacanya. Pesan itu sepertinya berisi keisengan seseorang, tetapi jika ini serius maka masa depannya bisa hancur.
Tangan Sinta bergetar ketika membaca pesan singkat yang baru saja masuk ke handphone-nya. Ia ingin menunjukkan kepada Lena, tetapi ia takut Lena akan bertanya lebih jauh tentang isi pesan singkat ini. Keringat dingin mengalir dari pelipisnya ketika memikirkan Lena, terlebih ini juga menyangkut tentang Ezky yang dekat dengan Lena. Ia bimbang, ia takut, tetapi ia tahu bahwa ia harus melakukan apa yang pesan itu inginkan agar ia bisa mengamankan dirinya.
Di kelas, Ezky yang terbangun dari tidurnya karena bunyi pesan singkat, menatap kesal layar handphone. Ia lebih kesal lagi ketika mengetahui pesan singkat yang diterimanya sangat-sangat tidak penting. Namun ketika ia menyusuri notifikasi yang ada di layar handphone-nya, ia menyeringai senang saat menyadari sesuatu.
Lamunan Ezky buyar karena bel masuk berbunyi. Ia kembali merebahkan kepalanya namun segera ia angkat karena ia ingat pelajaran terakhir adalah pelajaran kesenian dengan guru yang membencinya dan juga dibencinya bernama Pak Hendy. Setelah semua murid memasuki kelas, seorang guru pria dengan rambut belah pinggir dan kemeja berwarna pastel mengikuti dengan gaya necis. Beberapa murid wanita memperhatikan guru ini dengan terpesona sementara Ezky malah merasa ia perlu melarikan diri dari pelajaran ini. Pak Hendy menyapa murid-murid dengan ramah, namun ketika ia melihat Ezky, ia memandang jijik dengan sudut matanya.
Tiba-tiba, Limper yang duduk di sampingnya memperlihatkan sesuatu kepada Ezky. “Ini apa, sih? Ngetren lagi, ya sms beginian?” bisik Limper sambil menggaruk-garuk kepalanya.
Ezky melirik sms yang ditunjukkan oleh Limper dan cukup terkejut ketika melihatnya, “Kau juga dapat?” tanyanya heran.
Dengan bingung Limper menaikkan alisnya dan Ezky mengatakan bahwa ia juga mendapatkan pesan singkat yang sama dengan Limper.
“Wah, menarik…” desis Limper, matanya yang biasanya gelap karena terlalu banyak menghisap marijuana bersinar terang kali ini.
“Mungkin ini hanya kerjaan orang iseng. Ia jelas-jelas sedang bosan…” komentar Ezky, sedikit melirik kepada Pak Hendy yang masih melihatnya dengan sudut mata ketika ia mengajar. Guru itu memang benar-benar membencinya hingga ia tidak peduli jikapun Ezky sama sekali tidak memperhatikan pelajarannya.
“Yah, mungkin ini hanya iseng. Tapi, aku penasaran dengan siapa saja yang mendapatkan sms ini selain kita,” ucap Limper, ia terlihat sangat tertarik ketika matanya menyapu ke seluruh kelas, memperhatikan setiap temannya yang sedang memegang handphone dan mengetik dengan jari-jari mereka yang lincah.
“Kita bisa mengikuti instruksi dari sms ini jika kau mau…” tantang Ezky dengan menaikkan satu alisnya.
“Wah, wah… Senang berteman denganmu, Ezky! Jadi, kau mau?” Limper tersenyum senang.
Sekilas Ezky melirik Lena yang duduk beberapa kursi di depannya kemudian ia memberikan jawaban kepada Limper, “Ya!” angguknya yakin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar