Choose Your Player (Part 2)
Senja
menggantung di ufuk barat ketika sekolah sudah sepenuhnya kosong, hanya tersisa
beberapa siswa yang sedang melakukan kegiatan klub. Perlahan namun pasti,
lorong-lorong mulai kosong, suara pantulan bola basket di lapangan tidak lagi
terdengar, sepatu-sepatu sepakbola sudah ditenteng pulang, buku-buku di
perpustakaan-pun sudah kembali ke tempatnya. Sekolah sunyi senyap seiringan
dengan matahari yang mulai menyusup di balik gedung-gedung tinggi perkotaan,
hanya meninggalkan secercah cahaya temaram dari lampu-lampu putih kecil di
sudut-sudut sekolah. Penjaga sekolah-pun sudah sedikit bersantai di pos
jaga-nya.
Setelah
bersembunyi cukup lama di sudut gudang sekolah dan sempat setengah mati menahan
tawa karena menemukan kondom bekas, Ezky dan Limper akhirnya keluar dari sana.
“Selanjutnya yang susah adalah masuk ke gedung sekolah. Karena sistem keamanan
baru, jendela-nya dikunci dengan kunci elektronik. Sekolah ini memang sok
rahasia banget!” Jendela dan pintu sekolah memang terkunci dengan kunci
elektronik yang hanya bisa dibuka dengan kartu pass untuk masuk ke dalam, tapi
untuk keluar mereka hanya perlu memencet tombol dari dalam. Meskipun demikian,
pintu-pintu kelas masih menggunakan kunci manual model lama karena dianggap
tidak praktis jika kelas menggunakan kunci elektronik.
Ketika
Limper mengeluarkan laptop dari tas-nya, bersiap untuk melakukan hack,
seseorang mengejutkan mereka dari belakang, “Kalian sedang apa mengendap-ngendap
di sini?” tanya suara itu.
“Lena?!?”
seru Ezky dengan wajah bertanya-tanya. “Kamu ngapain di sini?” ia terdengar
sedikit marah dan bahkan terlihat panik.
“Kalian
sendiri sedang apa?” tanyanya dengan alis bertaut. “Kalau aku sih karena ada
yang ketinggalan di kelas,” lanjutnya. Ia masih menatap Ezky dan Limper dengan
tatapan menyelidik karena mereka memang terlihat sangat mencurigakan.
“Sama…
ada yang ketinggalan juga,” ucap Ezky cepat-cepat. “Lebih baik aku yang
mengambil barang kamu yang ketinggalan. Kamu sekarang pulang…”
“Terus
kalian mau masuk gedung sekolah pakai apa?” tanya Lena dengan senyum mengejek
sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia lalu merogoh sakunya dan mengeluarkan
sebuah kartu tipis. “Kalau mau bareng aja, penjaga sekolah sudah kasih kartu
akses ke aku, kok.”
“Hah?
Kenapa bisa?” tanya Ezky, berusaha merebut kartu akses itu dari Lena, namun
tidak berhasil.
“Katanya
hari ini banyak yang ketinggalan barang, dia sudah bolak balik bukain pintu
dari tadi. Sampai-sampai dia malas ngecekkin lagi anak-anak itu sudah keluar
atau belum,” kata Lena sambil menggoyang-goyangkan kartunya di tangan. Ia
melanjutkan, “Daripada kalian masuk lewat jendela lebih baik pakai cara yang
aman, kan? Ayo!” ajaknya.
“Tunggu,
Lena…” Ezky menarik bahu Lena, “Biar aku yang mengambil barangmu yang
tertinggal. Berikan kunci akses-nya padaku dan kau bisa pulang,” ucap Ezky
dengan sedikit terburu-buru. Ia terlihat cemas.
Dalam
diam Lena menatap Ezky sejenak sebelum tersenyum, “It’s okay. Let’s do this together…” ucapnya pelan. Lalu ia memutar
tubuhnya dan terus berjalan di depan.
“Kenapa
kau menyuruhnya pulang?” tanya Limper sambil menepuk bahu Ezky.
“Tidak,
tidak ada apa-apa,” ujar Ezky dengan nada dingin. Ia kemudian berjalan
mengikuti Lena ke pintu depan sekolah.
Saat
berada di pintu depan sekolah, Ezky dan Limper sedikit terkejut karena mereka
tidak sendirian. Di sana sudah berdiri Sinta yang mukanya berseri-seri ketika
melihat Lena dan Artha yang memandang mereka dengan angkuh dari balik
hidungnya. Ezky dan Limper saling bertatapan, sama-sama bertanya-tanya apakah
kedatangan mereka ke sekolah malam-malam seperti ini ada kaitannya dengan pesan
singkat yang mereka berdua terima. Apakah Sinta dan Artha juga menerimanya?
“Wah,
anak teladan datang ke sekolah malam-malam seperti ini pasti ada sesuatu,” ejek
Limper sambil terkekeh-kekeh.
“Bukan
urusanmu!” ketusnya sambil menyilangkan tangannya di depan dada.
Gadis
berkuncir dua bernama Sinta itu kemudian mengintip-ngintip Ezky dari balik
Lena, ia memperhatikan Ezky dengan wajah bersemu merah. “Eng, Ezky juga sedang
apa di sini?” tanyanya malu-malu.
“Dia
baru saja melakukan sesuatu bersama dengan Limper,” sambar Lena sambil terkekeh
dan mengedipkan sebelah mata.
“Lena,
kata penjaga sekolah kau memiliki kartu akses-nya. Cepat buka pintunya! Aku
harus cepat pulang untuk berlatih biola,” ucap Artha galak bahkan tanpa menatap
Lena.
Dengan
mendesah kesal, Lena menempelkan kartu akses tersebut dan membuka pintunya. Artha
berjalan cepat memasuki sekolah tanpa mempedulikan yang lainnya. Sinta masih
berdiri di belakang Lena dan sesekali melirik Ezky yang berjalan di belakang
mereka bersama Limper yang berjalan sambil mengutak-ngatik laptopnya. Bagi
Limper, meskipun computer tablet lebih praktis dibawa-bawa, program yang bisa
dimasukkan terbatas, sedangkan ia butuh sangat banyak program untuk melakukan “pekerjaannya”.
Semuanya
berjalan beriringan menuju kelas mereka yang terletak di lantai 2. Ezky
memperhatikan sekelilingnya dan pemandangan sekolah pada malam hari yang sunyi
seperti ini tidaklah terlalu menyenangkan. Lorong-lorong terlihat gelap dengan
hanya diterangi beberapa lampu yang ada di sudut, membentuk bayangan gelap yang
terasa sedikit mengerikan. Belum lagi bunyi langkah kaki yang bergema dan
seolah-olah membentuk suara raungan di lorong yang sepi ini.
Namun
ternyata rombongan mereka tidak sendiri karena mereka mendengar suara tertawa
terkikik yang mereka kenal dari lantai atas. Begitu mereka sampai ke lantai 2,
Bobby dan Gaby melintas di depan mereka, bergandengan tangan. Mereka diikuti
oleh 2 minion Gaby yang sedang meledek satu sama lain sambil menarik-narik
seutas tali. Di belakang mereka, berjalan terseok-seok dan terlihat lemah, ada
Heru dengan tangan terikat.
“Apa
yang kalian lakukan kepadanya?!?” sentak Lena, berlari kecil menghampiri Heru
dan berniat untuk membebaskan tangannya yang terikat.
“Hei,
nona manis!” bentak Gaby sebelum Lena sempat menghampiri Heru. “Jika kau berani
melepaskan tangannya, berarti kau bersedia menggantikannya menjadi mainan kami!
Kau mengerti?!?” mata Gaby yang tajam seperti mata kucing membesar dan memandang
Lena dengan sinis. Langkah Lena terhenti, meskipun tangannya masih terulur
untuk membebaskan tangan Heru yang terikat. “Bagus!”
“Ayo
jalan, bodoh!!” seru Resta sambil menarik tali yang tersambung dengan ikatan
tangan Heru. Ketika berjalan melewati Lena, Heru menatap Lena dengan tatapan
nanar yang terlihat lemah.
Melihat
itu Lena meringis, mengepalkan tangannya karena tidak bisa berbuat apa-apa.
Hampir seluruh sekolah, dan terutama kelas mereka, tahu bagaimana Gaby dan
minionnya suka menyiksa Heru. Penyiksaan itu bukan hanya meminta uang atau
meminta Heru mengerjakan PR mereka, tapi hingga ke penyiksaan fisik. Terkadang
Lena iba melihat lebam-lebam warna biru di bawah mata dan tangan Heru. Itu
megerikan. Namun, tidak ada satupun yang berani melawan tindakan penindasan
Gaby ini. Mereka tahu jika ikut campur dengan urusan Gaby maka mereka juga akan
turut ditindas olehnya, bahkan jika itu guru sekalipun.
Peristiwa
itu membuat suasana canggung, tidak ada yang berbicara setelah itu. Mereka
berjalan lambat-lambat di belakang rombongan Gaby yang ternyata juga berjalan
menuju kelas. Begitu seluruh rombongan Gaby memasuki kelas, Artha berjalan
cepat-cepat, ia ingin segera pergi dari situ namun ia tahu ia tidak bisa, tidak
sampai ia tahu apa maksud pesan singkat itu. Sinta yang dari tadi mencengkram
baju Lena, terlihat pucat. Ia bahkan tidak bisa menjawab apa-apa ketika Lena
menanyakan keadaannya. Rasanya ia ingin kabur dari tempat itu tapi ia takut itu
akan membuat pengirim pesan singkat itu benar-benar melaksanakan ancamannya.
“Bukankah
sangat aneh jika kita semua memiliki barang yang tertinggal di kelas? Dan,
lebih aneh lagi adalah keberadaan rombongan Gaby si pelacur di sini. Ooooh… ini
akan sangat menyenangkan!!” gumam Limper dengan cepat. Matanya terlihat berbinar-binar.
Begitu
memasuki kelas, semunya terlihat canggung, bahkan terlihat sangat aneh karena
mereka benar-benar tidak melakukan apa. Kecuali Lena yang pergi ke tempat
duduknya untuk benar-benar mengambil barangnya yang tertinggal, yang lainnya
hanya memperhatikan sekeliling dan melihat-lihat jam dengan gelisah.
“Barang
kamu yang ketinggalan mana, Ky?” tanyanya sambil melihat rombongan yang berada
di kelas itu. Lena berpikir sebenarnya apa tujuan teman-teman sekelasnya ini
datang ke sekolah jika tidak mengambil barang yang tertinggal. Gaby, Bobby dan
minionnya mungkin ada urusan lain, urusan yang berkaitan dengan Heru, tetapi
Sinta dan Artha, Ezky dan Limper, apa tujuan mereka ke sekolah jika tidak
mengambil barang yang tertinggal. Sungguh sangat kebetulan yang aneh jika
teman-teman sekelasnya memiliki barang yang tertinggal bersamaan. Ditambah
lagi, tampaknya tidak ada seorangpun yang datang selain mereka.
Tiba-tiba,
terdengar suara alarm yang sangat kencang dan memekakkan telinga. Semuanya
serempak menengadah ke atas, melihat ke sekeliling mencari darimana asal suara
tersebut. Saat mereka dihantui kebingungan, terdengar suara gebrakan yang cukup
keras dan bunyi berkedip dari seluruh ruangan, tampaknya itu bunyi jendela yang
mengunci dari dalam. Cepat-cepat Limper mencoba untuk membuka jendela dengan
memencet tombol yang ada di sampingnya, tetapi hasilnya nihil, jendela tersebut
mengunci dan menolak untuk membuka.
“Heh,
pencandu! Ini pasti kerjaan kamu dengan laptop kamu, kan?!?” seru Artha marah.
“Apa-apaan,
sih ini?!? Limper, bercanda kayak gini itu keterlaluan!” sentak Gaby. “Ayo,
kita keluar. Paling pesan singkat itu kerjaan si pecandu ini!!” tambahnya lagi.
“Pesan
singkat?” Lena menatap Gaby dan Limper bergantian.
Namun,
sebelum Gaby sempat melangkahkan kaki keluar, pintu kelas tiba-tiba menutup
dengan sendirinya dan terkunci. “Apa? Sejak kapan pintu kelas juga pakai kunci
elektronik?!?” seru Gaby tidak percaya.
“Tenang,
sayang. Tidak akan terjadi apa-apa…” Bobby memeluk Gaby dan mencium pucuk
kepalanya.
“Tidaaaak!!!”
tiba-tiba Sinta berteriak. “Ini terjadi… Benar-benar terjadi!!!” serunya
histeris dengan tubuh yang bergetar hebat. Lena memeluknya untuk menenangkan.
Di tengah kepanikan itu, tiba-tiba suara alarm
kencang itu terdengar lagi dan kali ini dilanjutkan dengan suara sesorang berdeham
dari speaker. Serentak semuanya menoleh ke arah suara itu berasal,
bertanya-tanya apa yang sedang terjadi dan apa yang akan terjadi selanjutnya.
Suara dari speaker itu mulai berbicara, “Selamat malam semuanya! Selamat datang
di permainan ini…”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar