Kamis, 18 September 2014

School Game: Chapter 1.2


Choose Your Player (Part 2)

Senja menggantung di ufuk barat ketika sekolah sudah sepenuhnya kosong, hanya tersisa beberapa siswa yang sedang melakukan kegiatan klub. Perlahan namun pasti, lorong-lorong mulai kosong, suara pantulan bola basket di lapangan tidak lagi terdengar, sepatu-sepatu sepakbola sudah ditenteng pulang, buku-buku di perpustakaan-pun sudah kembali ke tempatnya. Sekolah sunyi senyap seiringan dengan matahari yang mulai menyusup di balik gedung-gedung tinggi perkotaan, hanya meninggalkan secercah cahaya temaram dari lampu-lampu putih kecil di sudut-sudut sekolah. Penjaga sekolah-pun sudah sedikit bersantai di pos jaga-nya.
Setelah bersembunyi cukup lama di sudut gudang sekolah dan sempat setengah mati menahan tawa karena menemukan kondom bekas, Ezky dan Limper akhirnya keluar dari sana. “Selanjutnya yang susah adalah masuk ke gedung sekolah. Karena sistem keamanan baru, jendela-nya dikunci dengan kunci elektronik. Sekolah ini memang sok rahasia banget!” Jendela dan pintu sekolah memang terkunci dengan kunci elektronik yang hanya bisa dibuka dengan kartu pass untuk masuk ke dalam, tapi untuk keluar mereka hanya perlu memencet tombol dari dalam. Meskipun demikian, pintu-pintu kelas masih menggunakan kunci manual model lama karena dianggap tidak praktis jika kelas menggunakan kunci elektronik.
Ketika Limper mengeluarkan laptop dari tas-nya, bersiap untuk melakukan hack, seseorang mengejutkan mereka dari belakang, “Kalian sedang apa mengendap-ngendap di sini?” tanya suara itu.
“Lena?!?” seru Ezky dengan wajah bertanya-tanya. “Kamu ngapain di sini?” ia terdengar sedikit marah dan bahkan terlihat panik.
“Kalian sendiri sedang apa?” tanyanya dengan alis bertaut. “Kalau aku sih karena ada yang ketinggalan di kelas,” lanjutnya. Ia masih menatap Ezky dan Limper dengan tatapan menyelidik karena mereka memang terlihat sangat mencurigakan.
“Sama… ada yang ketinggalan juga,” ucap Ezky cepat-cepat. “Lebih baik aku yang mengambil barang kamu yang ketinggalan. Kamu sekarang pulang…”
“Terus kalian mau masuk gedung sekolah pakai apa?” tanya Lena dengan senyum mengejek sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia lalu merogoh sakunya dan mengeluarkan sebuah kartu tipis. “Kalau mau bareng aja, penjaga sekolah sudah kasih kartu akses ke aku, kok.”
“Hah? Kenapa bisa?” tanya Ezky, berusaha merebut kartu akses itu dari Lena, namun tidak berhasil.
“Katanya hari ini banyak yang ketinggalan barang, dia sudah bolak balik bukain pintu dari tadi. Sampai-sampai dia malas ngecekkin lagi anak-anak itu sudah keluar atau belum,” kata Lena sambil menggoyang-goyangkan kartunya di tangan. Ia melanjutkan, “Daripada kalian masuk lewat jendela lebih baik pakai cara yang aman, kan? Ayo!” ajaknya.
“Tunggu, Lena…” Ezky menarik bahu Lena, “Biar aku yang mengambil barangmu yang tertinggal. Berikan kunci akses-nya padaku dan kau bisa pulang,” ucap Ezky dengan sedikit terburu-buru. Ia terlihat cemas.
Dalam diam Lena menatap Ezky sejenak sebelum tersenyum, “It’s okay. Let’s do this together…” ucapnya pelan. Lalu ia memutar tubuhnya dan terus berjalan di depan.
“Kenapa kau menyuruhnya pulang?” tanya Limper sambil menepuk bahu Ezky.
“Tidak, tidak ada apa-apa,” ujar Ezky dengan nada dingin. Ia kemudian berjalan mengikuti Lena ke pintu depan sekolah.
Saat berada di pintu depan sekolah, Ezky dan Limper sedikit terkejut karena mereka tidak sendirian. Di sana sudah berdiri Sinta yang mukanya berseri-seri ketika melihat Lena dan Artha yang memandang mereka dengan angkuh dari balik hidungnya. Ezky dan Limper saling bertatapan, sama-sama bertanya-tanya apakah kedatangan mereka ke sekolah malam-malam seperti ini ada kaitannya dengan pesan singkat yang mereka berdua terima. Apakah Sinta dan Artha juga menerimanya?
“Wah, anak teladan datang ke sekolah malam-malam seperti ini pasti ada sesuatu,” ejek Limper sambil terkekeh-kekeh.
“Bukan urusanmu!” ketusnya sambil menyilangkan tangannya di depan dada.
Gadis berkuncir dua bernama Sinta itu kemudian mengintip-ngintip Ezky dari balik Lena, ia memperhatikan Ezky dengan wajah bersemu merah. “Eng, Ezky juga sedang apa di sini?” tanyanya malu-malu.
“Dia baru saja melakukan sesuatu bersama dengan Limper,” sambar Lena sambil terkekeh dan mengedipkan sebelah mata.
“Lena, kata penjaga sekolah kau memiliki kartu akses-nya. Cepat buka pintunya! Aku harus cepat pulang untuk berlatih biola,” ucap Artha galak bahkan tanpa menatap Lena.
Dengan mendesah kesal, Lena menempelkan kartu akses tersebut dan membuka pintunya. Artha berjalan cepat memasuki sekolah tanpa mempedulikan yang lainnya. Sinta masih berdiri di belakang Lena dan sesekali melirik Ezky yang berjalan di belakang mereka bersama Limper yang berjalan sambil mengutak-ngatik laptopnya. Bagi Limper, meskipun computer tablet lebih praktis dibawa-bawa, program yang bisa dimasukkan terbatas, sedangkan ia butuh sangat banyak program untuk melakukan “pekerjaannya”.
Semuanya berjalan beriringan menuju kelas mereka yang terletak di lantai 2. Ezky memperhatikan sekelilingnya dan pemandangan sekolah pada malam hari yang sunyi seperti ini tidaklah terlalu menyenangkan. Lorong-lorong terlihat gelap dengan hanya diterangi beberapa lampu yang ada di sudut, membentuk bayangan gelap yang terasa sedikit mengerikan. Belum lagi bunyi langkah kaki yang bergema dan seolah-olah membentuk suara raungan di lorong yang sepi ini.
Namun ternyata rombongan mereka tidak sendiri karena mereka mendengar suara tertawa terkikik yang mereka kenal dari lantai atas. Begitu mereka sampai ke lantai 2, Bobby dan Gaby melintas di depan mereka, bergandengan tangan. Mereka diikuti oleh 2 minion Gaby yang sedang meledek satu sama lain sambil menarik-narik seutas tali. Di belakang mereka, berjalan terseok-seok dan terlihat lemah, ada Heru dengan tangan terikat.
“Apa yang kalian lakukan kepadanya?!?” sentak Lena, berlari kecil menghampiri Heru dan berniat untuk membebaskan tangannya yang terikat.
“Hei, nona manis!” bentak Gaby sebelum Lena sempat menghampiri Heru. “Jika kau berani melepaskan tangannya, berarti kau bersedia menggantikannya menjadi mainan kami! Kau mengerti?!?” mata Gaby yang tajam seperti mata kucing membesar dan memandang Lena dengan sinis. Langkah Lena terhenti, meskipun tangannya masih terulur untuk membebaskan tangan Heru yang terikat. “Bagus!”
“Ayo jalan, bodoh!!” seru Resta sambil menarik tali yang tersambung dengan ikatan tangan Heru. Ketika berjalan melewati Lena, Heru menatap Lena dengan tatapan nanar yang terlihat lemah.
Melihat itu Lena meringis, mengepalkan tangannya karena tidak bisa berbuat apa-apa. Hampir seluruh sekolah, dan terutama kelas mereka, tahu bagaimana Gaby dan minionnya suka menyiksa Heru. Penyiksaan itu bukan hanya meminta uang atau meminta Heru mengerjakan PR mereka, tapi hingga ke penyiksaan fisik. Terkadang Lena iba melihat lebam-lebam warna biru di bawah mata dan tangan Heru. Itu megerikan. Namun, tidak ada satupun yang berani melawan tindakan penindasan Gaby ini. Mereka tahu jika ikut campur dengan urusan Gaby maka mereka juga akan turut ditindas olehnya, bahkan jika itu guru sekalipun.
Peristiwa itu membuat suasana canggung, tidak ada yang berbicara setelah itu. Mereka berjalan lambat-lambat di belakang rombongan Gaby yang ternyata juga berjalan menuju kelas. Begitu seluruh rombongan Gaby memasuki kelas, Artha berjalan cepat-cepat, ia ingin segera pergi dari situ namun ia tahu ia tidak bisa, tidak sampai ia tahu apa maksud pesan singkat itu. Sinta yang dari tadi mencengkram baju Lena, terlihat pucat. Ia bahkan tidak bisa menjawab apa-apa ketika Lena menanyakan keadaannya. Rasanya ia ingin kabur dari tempat itu tapi ia takut itu akan membuat pengirim pesan singkat itu benar-benar melaksanakan ancamannya.
“Bukankah sangat aneh jika kita semua memiliki barang yang tertinggal di kelas? Dan, lebih aneh lagi adalah keberadaan rombongan Gaby si pelacur di sini. Ooooh… ini akan sangat menyenangkan!!” gumam Limper dengan cepat. Matanya terlihat berbinar-binar.
Begitu memasuki kelas, semunya terlihat canggung, bahkan terlihat sangat aneh karena mereka benar-benar tidak melakukan apa. Kecuali Lena yang pergi ke tempat duduknya untuk benar-benar mengambil barangnya yang tertinggal, yang lainnya hanya memperhatikan sekeliling dan melihat-lihat jam dengan gelisah.
“Barang kamu yang ketinggalan mana, Ky?” tanyanya sambil melihat rombongan yang berada di kelas itu. Lena berpikir sebenarnya apa tujuan teman-teman sekelasnya ini datang ke sekolah jika tidak mengambil barang yang tertinggal. Gaby, Bobby dan minionnya mungkin ada urusan lain, urusan yang berkaitan dengan Heru, tetapi Sinta dan Artha, Ezky dan Limper, apa tujuan mereka ke sekolah jika tidak mengambil barang yang tertinggal. Sungguh sangat kebetulan yang aneh jika teman-teman sekelasnya memiliki barang yang tertinggal bersamaan. Ditambah lagi, tampaknya tidak ada seorangpun yang datang selain mereka.
Tiba-tiba, terdengar suara alarm yang sangat kencang dan memekakkan telinga. Semuanya serempak menengadah ke atas, melihat ke sekeliling mencari darimana asal suara tersebut. Saat mereka dihantui kebingungan, terdengar suara gebrakan yang cukup keras dan bunyi berkedip dari seluruh ruangan, tampaknya itu bunyi jendela yang mengunci dari dalam. Cepat-cepat Limper mencoba untuk membuka jendela dengan memencet tombol yang ada di sampingnya, tetapi hasilnya nihil, jendela tersebut mengunci dan menolak untuk membuka.
“Heh, pencandu! Ini pasti kerjaan kamu dengan laptop kamu, kan?!?” seru Artha marah.
“Apa-apaan, sih ini?!? Limper, bercanda kayak gini itu keterlaluan!” sentak Gaby. “Ayo, kita keluar. Paling pesan singkat itu kerjaan si pecandu ini!!” tambahnya lagi.
“Pesan singkat?” Lena menatap Gaby dan Limper bergantian.
Namun, sebelum Gaby sempat melangkahkan kaki keluar, pintu kelas tiba-tiba menutup dengan sendirinya dan terkunci. “Apa? Sejak kapan pintu kelas juga pakai kunci elektronik?!?” seru Gaby tidak percaya.
“Tenang, sayang. Tidak akan terjadi apa-apa…” Bobby memeluk Gaby dan mencium pucuk kepalanya.
“Tidaaaak!!!” tiba-tiba Sinta berteriak. “Ini terjadi… Benar-benar terjadi!!!” serunya histeris dengan tubuh yang bergetar hebat. Lena memeluknya untuk menenangkan.
Di tengah kepanikan itu, tiba-tiba suara alarm kencang itu terdengar lagi dan kali ini dilanjutkan dengan suara sesorang berdeham dari speaker. Serentak semuanya menoleh ke arah suara itu berasal, bertanya-tanya apa yang sedang terjadi dan apa yang akan terjadi selanjutnya. 
Suara dari speaker itu mulai berbicara, “Selamat malam semuanya! Selamat datang di permainan ini…”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar